07

2.1K 261 13
                                    

Gadis itu bisa melihat mereka.

Aku yakin, Berryland--mungkin mulai sekarang aku akan memanggilnya Jasmine--tadi menanyakan perihal hantu wanita yang menghuni kamarku. Tapi dia tak melihat bocah petualang yang kini memainkan belakang rambutnya yang pirang itu.

"Bagaimana dengan luka di tanganmu?" tanyaku sembari menyuguhkan teh ke arahnya. 

Ia menerima cangkir dariku, kemudian menunduk untuk mengamatinya seakan ada ikan yang menari-nari di teh buatanku.

"Sudah lebih baik. Di mana dokter?" jawabnya pelan seraya mencoba tersenyum ke arahku, bibir tipis merah mudanya tertarik ke kedua sisi membuat lekukan indah.

Rasa manis bibirnya itu masih tertinggal di bibirku.

"Ibu? Sedang bekerja di klinik. Aku tak tahu ke mana ayah pergi pagi ini. Dia memang suka berpetualang di luar sana," ucapku duduk di sebelahnya dan meneguk kopi dari cangkirku sendiri.

"Vincentio," panggil Jasmine ragu setelah kami diam cukup lama. Aku mencondongkan tubuhku padanya dan mengangkat kedua alisku. "Maaf atas ... semuanya," kata Jasmine mengawali. "Maksudku ... kau harus repot-repot pergi ke sekolahku, kehilangan kacamatamu, dan ... mendapatkan luka-luka itu demi menyelamatkanku." 

Gadis itu menunjuk kakiku. Luka yang ditinggalkan Iblis itu. Meski sudah dirawat oleh beberapa tim medis yang datang di insiden tadi,  namun tetap saja ... rasa ngilu yang ditinggalkannya masih sangat terasa. Sejenak aku merasakan refleks rahangku mengeras. Lalu memasang senyum dan membenarkan posisi kacamata lama yang dulu kupakai saat SMA. 

"Aku bukan seorang pemaaf yang murah hati, Jasmine."

Iris turquoise miliknya mengerjap-ngerjap menatapku. Bibirnya sedikit terbuka menunjukkan dua gigi depannya yang menggemaskan.

"Katakan, siapa yang membuatmu terluka seperti ini?" Aku meraih tangannya, lalu mengangkat jemarinya yang kembali terluka karena kejadian beberapa waktu lalu. "Luka di kukumu kemarin terlalu parah untuk sebuah kecelakaan saat bercocok tanam."

Seketika itu, matanya memancarkan ketakutan, bibirnya terbuka dan menutup cepat, seketika rona merah yang tersirat setelah aku memegang tangannya, hilang. Ia menjadi pucat pasi sekarang.

"P-pot! Potnya jatuh dari atas ... d-dan--"

"Berhenti melakukan usaha konyolmu itu. Kau sama sekali payah dalam berbohong, Jasmine."

Seperti telah menyadari usahanya yang sia-sia, kali ini Jasmine diam dan menunduk, meski tetap membiarkan tanganku menggenggam jemarinya.

"Kau akan diam sebagai ganti gagal berbohong, benar?" 

Sekarang dia menunduk, sesekali berusaha menarik tangannya dariku yang tentu saja sia-sia karena telapak tanganku jauh lebih besar daripada miliknya.

"Kau menciumku di sana, Jasmine." Rona merahnya kembali. Ia semakin menunduk, tangannya gemetar. "Diam hanya akan membuatku semakin ingin melakukannya lagi. Siapa tahu dengan kita berciuman lagi, kau akan mengingat sesuatu dan membicarakannya denganku," ucapku sambil tersenyum lebar menggodanya.

Namun gadis itu menanggapinya dengan berlebihan. Wajahnya berubah merah, dengan cepat ia mengangkat kepalanya. "Jangan!" balasnya cepat seraya berusaha menarik tangannya dariku. "Ma-maafkan aku soal yang di atas rooftop tadi. Aku ... aku hanya--tiba-tiba saja ... melakukannya," akunya kemudian. Ia mengalihkan pandangannya, menunduk, melingkari ujung kakinya sendiri

Kuraih dagu gadis itu dan mengangkat wajahnya untuk melihatku. 

"Aku bisa melihatnya, Jasmine."

The Blackish White (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang