Part 1

141 13 3
                                    


Lima belas menit menjelang bel masuk berbunyi, Febi memarkirkan sepeda mininya di parkiran sekolah. Dia berjalan dengan pelan melintasi halaman sekolah yang luas sembari menundukkan kepalanya.

Tidak seperti biasanya, halaman sekolah pagi ini terlihat ramai. Febi biasa berangkat di jam segini, tapi di hari biasanya, sekolah belum kelihatan ramai. Banyak siswa-siswi berseliweran di sekitarnya. Maka dari itu dia harus menundukkan kepalanya dalam-dalam. Menghindari tatapan-tatapan mencemooh yang selalu ditujukan kepadanya.

Dia teramat risih dengan tatapan itu.

Memangnya, apa yang salah dengan dirinya?

Oke, sebenarnya dia sedikikit...ehm, terlihat nerd. Dengan kacamata besar yang selalu menghiasi wajahnya, rambut berpotongan bob-nya, dan dengan seragam yang selalu kedodoran.

Mungkin karena itu orang-orang di sekolahnya selalu menatap dirinya mencemooh. Padahal mereka bisa saja untuk tidak memperhatikannya. Kenapa harus repot-repot hanya untuk menatap dirinya yang tidak modis ini?

Febi menghela napas pelan sembari menundukkan kepalanya lebih dalam. Langkah-langkahnya semakin cepat saat dia sudah sampai di ujung tangga menuju kelasnya. Tapi baru beberapa langkah menapaki anak tangga tersebut, tiba-tiba dari arah berlawanan dari dirinya, seseorang menabrak keras bahunya hingga dia terdorong ke belakang. Punggungnya langsung membentur dinding di sampingnya. Kaca mata bundarnya pun ikut terlempar ke lantai.

Febi meringis. Menahan rasa nyeri di punggungnya. Beruntung dia tidak sampai jatuh menggelinding ke bawah, jadi dia tidak akan bernasib sama dengan kaca matanya yang...

Oh, sial! Kaca matanya pecah!

Febi lalu turun di anak tangga terakhir dan memungut kaca matanya. Dia memeriksa benda itu dan mendesah putus asa karena pecahan lensanya terlalu parah. Rasanya dia ingin menangis saja. Kalau sudah begini, matanya yang sedikit memerah akan menimbulkan kecurigaan. Sebenarnya dia tidak membutuhkan kaca mata, karena matanya baik-baik saja dan tidak minus.

"Aku minta maaf. Kamu nggak papa, kan?"

Suara cowok di depannya langsung mengalihkan perhatian Febi pada kaca matanya. Dia mendongak, menatap datar pada cowok yang tadi menabraknya untuk menutupi ekspresi yang hampir menangisnya tadi.

"Nggak papa," sahutnya pendek.

Cowok itu mendekat, membuat Febi refleks mundur satu langkah.

"Kamu bener-bener nggak papa, kan? Ada yang sakit?" tubuh cowok itu membungkuk, mencoba melihat wajah Febi yang kembali menunduk. Lalu matanya turun melihat tangan cewek di hadapannya yang sedang memegang sebuah kaca mata yang telah rusak.

Seketika mata cowok itu melebar. Wajahnya kini tampak sangat menyesal. "Tolong maafkan aku, ya? Aku akan mengganti kaca matamu. Aku janji. Nama kamu siapa?"

Apa lagi ini? Desis Febi dalam hati. Tanpa sadar, dia bergerak mundur perlahan, yang membuat cowok di hadapannya mengerutkan kening, bingung.

"Nggak perlu. Aku bisa beli sendiri lagi." Kata Febi pelan. Dia sama sekali tidak mau memperpanjang masalah dengan cowok ini. Sebenarnya dia lebih tidak suka lagi jika ada yang ingin mencoba 'mendekat' kepadanya.

Cowok itu menggeleng tegas. "Nggak bisa. Aku yang bikin kamu hampir jatuh tadi, bahkan kaca matamu sampai terlepas dan pecah. Jadi aku harus tanggung jawab. Oke?"

F.B.I [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang