Part 3

85 11 6
                                    


"Pliis, Ka. Tolongin aku, ya? Ya? Ya?"

Tika diam-diam menghela napas sambil pura-pura sibuk berpikir. Matanya memindai kelas yang saat ini hampir kosong karena bel pulang baru berbunyi. "Nanti gue jawab apa kalau ditanyain Beno?"

"Bilang aja aku ada urusan penting."

"Urusan penting apa misalnya?"

"Jemput kakakku."

Mata Tika seketika melebar, "oh ya? Gue ikut dong."

"Ka, aku harus buru-buru," wajah Febi memelas. Tika jadi kasihan melihatnya.

"Oke oke. Ya udah, gih. Sana pergi, ntar gue bilangin Beno kalau lo nggak bisa."

Febi langsung sumringah, "thank you banget, Ka."

Cewek itu segera bangkit dari duduknya dan berjalan dengan tergesa keluar kelas. Tanpa menyadari, bahwa sejak tadi Tika memandangnya dengan pandangan yang sulit diartikan. Dia akan melakukan permintaan Febi tadi, bahkan akan melakukan lebih.

❄❄❄

Febi melangkah semakin cepat saat cewek itu melihat mobil sedan warna hitam yang terparkir di seberang jalan dari gerbang sekolahnya. Ketika beberapa langkah hampir sampai di mobil itu, kaca jendela samping kemudi diturunkan. Sebuah wajah yang akhir-akhir ini menghantui mimpi-mimpi buruknya, melongokkan kepala dan berseru.

"Cepetan!!!" serunya tak sabar.

Febi setengah berlari saat mendengar seruan itu. Ketika sampai di samping mobil, cewek itu cepat-cepat membuka pintu dan duduk di sebelah pengemudi yang notabene kakaknya sendiri.

Sedan hitam itu langsung meluncur bersamaan Febi menutup pintunya, keduanya tanpa menyadari, bahwa sejak Febi keluar dari gerbang sekolah, dia sudah diikuti.

"Gue nggak bisa nganterin lo ke rumah, lagi buru-buru. Lo bawa uangnya, kan?" suara serak di samping Febi mengalihkan pandangannya dari luar jendela.

"Iya..." ujar Febi seraya mengangguk pelan.

Sedan hitam itu akhirnya berhenti di sebuah halte yang lumayan sepi, setelah mematikan mesin mobilnya, cowok di balik kemudi itu menghadapkan tubuhnya kepada Febi seraya menyodorkan telapak tangan.

Febi cepat-cepat mengeluarkan dompetnya. Baru saja dia akan membuka dompet berwarna cokelatnya, cowok di sebelahnya langsung merebutnya dan membuka dompet itu dengan gerakan tak sabar.

"Gitu aja lama," gerutunya sambil mengambil semua uang yang ada di dompet tersebut.

Mata Febi kontan melebar, "kak-..."

"Nih," cowok itu mengembalikan dompetnya serta mengangsurkan selembar seratus ribuan kepada Febi. "Buat ongkos. Dan ini...." cowok itu lalu merogoh saku jaketnya dan mengeluarkan bungkusan plastik bening dan kemudian diserahkan kepada Febi, "buat elo. Ati-ati makenya, jangan kebanyakan. Nanti overdosis."

Febi menerima dompet, uang, serta bungkusan itu dengan tangan gemetar. Dia mendongak untuk menatap kakaknya yang saat ini wajahnya dipenuhi dengan seringai. "Makasih, Kak."

"Nggak perlu makasih," cowok itu mengibaskan tangannya. "Gue yang harusnya makasih." Ujarnya diikuti seringai.

Febi cepat-cepat memasukkan barang-barang tersebut ke dalam tas punggungnya. Setelah selesai, dia menatap kakaknya sejenak sebelum keluar dari sedan itu. Baru beberapa langkah menuju halte, namanya diserukan kakaknya membuat dia seketika berbalik. Kaca jendela sedan itu setengah diturunkan, wajah pucat kakaknya kembali melongokkan kepala dan berbicara dengan suara yang nyaris berbisik.

F.B.I [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang