Part 8

60 10 6
                                    


Tepat pukul tiga sore, bel pulang sekolah berdering. Guru yang mengajar pada kelas XI IPA 1 baru saja keluar kelas setelah mengucapkan salam. Aktifitas belajar mengajar yang sudah selesai, tak pelak membuat murid-murid di dalam kelas tersebut ramai dengan celotehan beberapa siswa yang ingin cepat-cepat pulang ke rumah, atau sekedar nongkrong-nongkrong di luar sekolah.

Febi membereskan buku-buku di atas mejanya dengan gerakan santai. Dia tidak perlu buru-buru karena memang tidak ada rencana apa-apa setelah ini. Berbeda dengan teman sebangkunya, Tika. Begitu bel berdering, cewek itu langsung melesat menuju pintu dengan gerakan tergesa. Bahkan, Tika sampai lupa bahwa setelah pulang sekolah, dirinya dan Febi harus mengembalikan buku paket kimia ke perpustakaan. Mana bukunya tebal-tebal banget lagi. Dipastikan Febi tidak bisa membawa seluruh buku tersebut. Mau minta tolong ke anak-anak yang lain, dia tidak berani.

Febi mengembuskan napasnya perlahan. Terpaksa dia harus bolak-balik dua kali nanti.

Dia meletakkan tasnya ke atas meja, lalu menghampiri meja guru yang terdapat tumpukan buku paket di sana. Cewek itu lalu membaginya menjadi dua buah tumpukan dan mengangkat salah satunya.

Saat cewek itu berbalik, nyaris saja Febi menjatuhkan tumpukan buku yang ada dalam dekapannya, ketika melihat orang yang sudah tahu akan rahasianya tengah berdiri bersandar di pintu.

Cewek itu menelan ludah. Semakin mengeratkan pegangannya pada tumpukan buku yang dibawanya.

Setelah pengakuannya pagi tadi, Febi cuma berharap kalau rahasianya tidak dibocorkan ke orang lain lagi. Karena cewek itu sungguh-sungguh sangat ingin menikmati masa-masanya di sekolah ini. Kalaupun harus memohon dengan orang yang berdiri di hadapannya kini, Febi akan melakukannya. Tapi mengingat sifat cowok di hadapannya itu, membuatnya sedikit sangsi.

"Kamu mau apa?" akhirnya Febi buka suara dengan nada datar.

Indra berdeham. Punggungnya meninggalkan pintu yang sedari tadi disandarinya. Pelan-pelan, cowok itu melangkah mendekati Febi dengan matanya menghunus tepat di manik mata di balik kacamata cewek itu.

Indra sengaja bungkam dan ekspresinya pun dibuat seserius mungkin, hanya untuk mengintimidasi cewek cupu di depannya. Tapi ternyata, Febi masih berdiri tegak tanpa termakan aura menyeramkan Indra.

Dua langkah dari tempat Febi berdiri, Indra menghentikan langkahnya. Cowok itu membungkukkan punggungnya rendah agar bisa menyejajarkan wajahnya dengan wajah Febi. Dan saat cowok itu membuka suara, ketenangan Febi langsung lenyap.

"Hidup lo pasti tragis banget, ya? Bahkan lo berani menjerumuskan diri lo ke dalam bahaya. Ck, ck, ck.... Kasihan banget."

Mendengar penuturan itu, tubuh Febi kontan menegang. Kedua tangannya yang tengah memeluk buku paket ke dadanya, gemetar. Telapak tangannya pun perlahan mendingin. Dan wajahnya langsung pias.

Indra meneliti ekspresi Febi dengan cermat. Wajah cewek itu pucat pasi, seperti tidak ada darah yang mengaliri ke wajahnya. Indra jadi kasihan melihatnya seperti itu.

"Pliis, aku mohon jangan beri tahu ke siapa pun."

Indra tertegun mendengar ucapan Febi yang memelas. Kedua matanya tampak berkaca-kaca, siap untuk menangis.

Cowok itu jadi semakin tidak tega.

"Oke. Gue nggak akan ngasih tahu siapa pun. Tapi ada syaratnya." Indra menyeringai. Tadi sih tidak tega, tapi kalau mau menggoda cewek minim ekspresi ini sedikit saja, boleh kan?

Febi cuma mengangguk, tidak tahu harus menjawab apa.

"Gue nggak akan ngasih tahu ke siapa pun, asal...." cowok itu menjeda kalimatnya sesaat hanya untuk menciptakan efek dramatisasi dan membuat cewek yang berdiri di depannya itu penasaran.

F.B.I [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang