Goodbye

7.6K 842 40
                                    

Jisoo duduk dengan tenang di ruang tamu apartemen Taeyong. Tangan kirinya memegang roti panggang sementara tangan kanannya memegang secangkir kopi.

"Taeyong, bisa kau antar aku pulang?"  tanya Jisoo saat Taeyong berjalan mendekatinya.

Taeyong melemparkan tubuhnya ke sofa dimana Jisoo duduk. Tangannya masih sibuk mengusap rambutnya yang masih basah. Ia menghadap Jisoo dan membuka mulutnya lalu menunjuk roti di tangan Jisoo. Tanpa bertanya, Jisoo sudah menyuapkan roti di tangannya pada mulut Taeyong yang terbuka.

"Hmm... boleh."

Jisoo menarik tangan kanan Taeyong dan memposisikan tangan itu pada roti. Ia kembali menyeduh kopinya. Sebelum sebuah pertanyaan melintas di otaknya.

"Hei, Taeyong."

"Hmmm."

"Yang tadi pagi kau ucapkan bercanda kan?"

"Yang mana?"

"Yang kau melamarku," kata Jisoo dengan rona merah di pipinya.

Taeyong berfikir sejenak sebelum mengunci mata Jisoo dalam tatapannya. "Tidak. Aku serius. Kita bisa menikah sekarang."

"Hah? Tapi kau tidak mencintaiku dan aku juga tidak mencintaimu," kata Jisoo panik. Ia mengira pria itu hanya bercanda tadi.

"Tapi kita cocok di atas ranjang. Aku tidak butuh cinta."

Jisoo terdiam. Ia menatap Taeyong lekat-lekat. Berusaha keras membaca apa yang ada di pikiran pria itu. Ia yakin ada hal lain lagi yang membuat pria ini menjadi makhluk aneh seperti ini. Manusia mana yang tidak butuh cinta? Salahkan Jisoo jika ia masih bermimpi akan mendapatkan cinta sejatinya.

"Kenapa?" tanya Jisoo.

Tapi pria itu diam saja, tidak menjawab.

"Aku tidak bisa menikah tanpa cinta. Aku masih ingin mendapatkan cinta sejatiku."

Taeyong melirik Jisoo sekilas sebelum tertawa sinis. "Mustahil. Setelah kau dicampakkan seperti itu, kau masih percaya cinta. Jangan bermimpi."

"Apa?" Jisoo merasa kesal dengan perkataan Taeyong. Kenapa pria ini mengungkit-ungkit masalahnya. "Dia yang brengsek karena selingkuh. Ini bukan salahku dan bukan salah perasaan cintaku padanya."

Taeyong berdiri. Ia melempar handuknya ke sembarang arah. "Kau bodoh Jisoo. Kau bodoh karena terlalu percaya pada cinta. Kau menutup mata pada kelakuan pacarmu itu karena cinta bukan? Kau sebenarnya tahu dari awal kalau pacarmu itu brengsek. Tapi kau mengabaikannya karena cinta. Huh, kau harus membuka mata kalau cinta itu membuatmu bodoh."

"Taeyong!" Jisoo ikut berdiri. Kata-kata Taeyong memang ada benarnya. Tapi melemparkan argumentasi itu di depan mukanya, rasanya terlalu menyakitkan. Ia memang dibutakan oleh cintanya pada Bobby hingga mengabaikan alarm otaknya akan tingkah Bobby. Dia memang bodoh. Tapi mendengar orang lain mengucapkannya di depan mukanya terasa menyakitkan.

"Aku memang bodoh. Apa urusanmu hah?" teriak Jisoo. Air mata sudah memenuhi sudut matanya. Tapi ia menolak untuk menangis. "Aku memang bodoh mencintai dia tanpa akal. Lalu kenapa? Setidaknya aku pernah mencintai dengan tulus. Apa kau bisa mengatakan hal yang sama untuk dirimu sendiri?"

Taeyong menatap Jisoo dengan tatapan dingin. Jisoo mundur. Ia kaget dengan tatapan penuh kebencian yang ditujukan padanya.

"Siapa yang butuh cinta? Wanita itu pembohong, mereka itu tidak pernah benar-benar mencintai dengan tulus. Mereka hanya butuh uang dan seks. Semua wanita itu sama. Penipu dan pembohong yang hanya bisa menggunakan tubuhnya sebagai umpan."

Plak!

"Teganya kau mengatakan itu padaku. Apa kau menganggapku sama dengan wanita-wanitamu?"

Taeyong menyeringai sinis. Tamparan Jisoo tak berasa apapun di pipinya. Wanita itu tidak tahu bagaimana cara menampar. "Kalian sama."

Deg. Taeyong ingin menarik kalimatnya kembali saat melihat wajah Jisoo. Ia ingin merengkuhnya dalam pelukan dan mengatakan kalau yang dia katakan bohong. Tapi ego dan emosinya berhasil menahan keinginannya itu.

Jisoo seakan ditampar. Wajahnya memucat. Ia menatap Taeyong tak percaya. Ia tidak menyangka Taeyong menganggapnya sama seperti wanita-wanita itu. Yang harus dibayar tubuhnya. Ia sakit hati. Padahal ia menyerahkan dirinya tanps imbalan apapun. Padahal ia mempercayai pria itu.

"Kau jahat sekali," bisik Jisoo dengan suara tertahan. Airmata nya mengalir dari sudut matanya. Sungguh, hinaan Taeyong lebih menyakitkan dari mantan pacarnya. "Padahal aku sudah memberikannya padamu."

Taeyong terdiam sesaat. Ia tidal tega melihat wajah Jisoo yang nampak kesakitan. Apa ia keterlaluan? Ah, tidak. Ia tahu pasti semua wanita sama busuknya. Sekarang mungkin Jisoo masih tulus dan baik tapi ia yakin tak butuh waktu lama bagi wanita itu untuk menunjukkan sifat busuknya.

"Keperawananmu," kata Taeyong. Senyum sinis nya kembali muncul. "Apa kau mau ku bayar?"

Bugh.

Jisoo mendorong dada Taeyong dan langsung berlari ke pintu apartemen dengan wajah berlinang air mata. Ia berhenti di pintu dan menoleh ke Taeyong yang kini memandangnya tanpa ekspresi.

"Aku membencimu. Aku menyesal bertemu denganmu, Lee Taeyong."

Brak.

Taeyong masih berdiri di tempat meski pintu sudah ditutup. Wajah Jisoo yang penuh air mata masih melekat kuat di otaknya.

"Apa yang ku lakukan?" bisik Taeyong seolah baru sadar dari lamunannya.

Ia mengusap wajahnya dengan kesal. Ia benar-benar jahat. Ia tahu kalau ia yang pertama bagi Jisoo. Seharusnya ia merasa beruntung tapi ia justru melempar kenyataan itu ke muka Jisoo. Bahkan ia menyamakan Jisoo dengan wanita-wanita yang pernah ia tiduri.

Damn. Jisoo pantas membencinya.

©

One Mistake 💝Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang