12. Dandelion

50 7 0
                                    

Hey, pernah kamu berlari di tengah padang luas dan gerimis turun? Butir-butir air dingin menetes di pipi sementara kristalnya berbinar tertimpa matahari yang masih cerah menyapa. Kamu bisa menghirup segar baunya yang khas, yang membuatmu rindu pada satu nama yang selalu terlintas tiap terjaga dini hari. Angin dinginnya menerpa, menyelimutimu dalam pelukan panjang dan desau berdendang di telingamu.

Hey, bisa kau raih dandelion itu? Yang menjadi putih sempurna tanpa ada jejak dia pernah kuning sebelumnya. Jangan kau tiup karena sayap-sayap rapuh itu akan merindu satu sama lain. Mereka akan menyebar benih sejauh angin membawa mereka, lalu tumbuh menjadi calon-calun sayap rapuh berikutnya. Aku selalu mengingatmu tiap melihat baris-baris yang bergoyang mengikuti melodi alam.

Bisa kamu melihat suasana dalam tulisanku? Padang hijau, semilir angin berhembus membawa benih-benih dandelion ke angkasa. Bisa kau rasakan hangat matahari dan segar udara menerpa kulit. Rambut panjangmu tergerai, mengombak selaksa samudra biru, sedikit helaian yang lebih tipis menggelitikmu dan kau tertawa. Melengkapi indahnya hariku bersamamu.

Kau tahu? Seperti gulungan roll film, kenanganku berputar samar. Kadang suaramu terdistorsi atau kupikir imajinasiku mengubah pertemuan terakhir kita seluruhnya. Mungkin mendung menggelayut dan gerimis turun tanpa latar drama. Mungkin kamu menangis dan aku marah. Mungkin tidak ada dandelion yang tersisa hari itu.

Tapi, hey, mungkin ini adalah cara terbaikku mengenangmu. Hadiah terakhir sebagai upaya melupakan kamu yang meninggalkanku segera setelah gerimis di padang dandelion itu.

DemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang