Kadang aku bertanya, apa arti biru untukmu?
Apakah kita melihat biru yang sama?
Dengan apakah kamu mengaitkan biru?
Apa kamu mengecap manis dan tawar yang sama denganku?
Bagaimana persepsimu pada waktu?
Aku sebagai manusia kerap kesulitan menerangkan bentuk dimensi bola pada orang lain, karena pada dasarnya yang mereka tangkap hanya kiasan semata dari apa yang aku saksikan dengan kedua mataku. Apa yang aku anggap nyata kadang tampil maya dihadapan mata yang melihat dari sudut riang. Kita tidak bisa melihat dari sumbu yang sama. Bukan karena kita berbeda, mungkin hanya karena kita tidak bisa berdiri tepat pada satu tempat yang sama.
Banyak dari mereka bilang dunia ini hanya pancaran dari apa yang disebut ideal, letaknya ada dalam kepala. Ribuan tahun filsuf berdebat apakah kita nyata atau hanya sebuah otak dalam tabung yang distimulasi oleh kecanggihan komputer? Tapi bukankah Descartes pernah bilang, i think therefore i am. Aku berpikir maka aku ada.
Buat apa susah-susah aku ajak bicara kamu tentang orang-orang megah dari masa lalu? Apa kaitannya dengan biru?
justru karena aku ingin menanyakan apa arti biru untukmu aku menawarkan dunia yang dipandang dari sudut pintar. sebagai pembanding sudut riangmu, sebagai pembanding sudut matiku.
hmmm, kamu berpikir sambil mengetuk dagu, senyummu ringan dengan mata mengerling jenaka. gulungan kemeja marunmu sampai siku dan aku menahan diriku untuk tidak menyerbu bibir merahmu yang merengut mencoba mengejar imajinasi liarku. tahukah kamu? justru pada saat yang sedikit tidak kau senangi ini kau terlihat paling menarik buatku. kamu masih berusaha mengukur dengan ilmu eksakta dan mengandalkan penalaran halus seniman. aku kadang ingin melihat dunia dari matamu yang berkilat anomali, rasionalitas tajam yang berkawin dengan halusnya romantisme tanpa imajinasi, kupikir hanya ada dalam cerita jaman dulu saat Galih masih giat mengayuh sepedanya untuk Ratna. tapi kita tahu sama tahu aku tertahan di sudut mati ini.
kamu memotong monolog heningku dengan tawa kecil.
biru buatku mungkin sedikit lebih gelap dan lebih terang dari birumu.
kenapa bisa begitu? aku bertanya. bibir merahmu tergigit sedikit saat kau coba merangkai kata dalam kepala.
mungkin karena aku melihat dunia dari lapisan es? buram saat malam dan berkilau tertimpa sinar terang. es itu sedang perlahan mencair sekarang dan aku bisa melihat bagian tergelap yang dulu disembunyikan.
lalu bagaimana dengan aku? aku melihat dunia dari sudut mati. aku tertahan di ujung melihat semuanya terjadi tanpa ingin melibatkan diri dalam drama dunia.
you sure are one of special flakes of the world.
apa maksudnya? aku bertanya-tanya.
let's be real. insting manusia untuk bertahan hidup membawa spesies kita dalam kecenderungan mengambil peran dalam kehidupan. tapi kamu, kamu berbeda.
aku tidak pernah tahu maksudmu. kau bilang tidak mengapa karena aku tidak melihat dunia dari sudut riang. aku hanya tidak memahami proyeksi yang coba kau sampaikan. dan ini bukan suatu hal yang buruk, karena tidak semua orang harus terlibat.
tapi kau bilang adalah naluriah manusia untuk mengambil peran, kontribusi adalah yang membuat manusia nyata dan ada. hanya berpikir tidak akan membawamu kemanapun tanpa kontribusi. seandainya rene descartes hanya berpikir tanpa menulis essai tentang teorinya, apakah dia masih ada dan mewujud?
jika manusia mengambil peran untuk jadi ada, apakah aku kemudian tidak menjadi ada di dunia ini?
aku memandang jari-jariku yang seakan menjadi trasnparan. kau cepat menggenggamnya seperti takut kalau aku betulan hilang.
kamu percaya aku ada?
aku mengangguk, kamu ada karena kamu berperan besar dalam hidupku.
aku juga percaya kalau kamu ada, dan bukan sekedar bayang ilusiku.
bagaimana kamu begitu yakin?
tapi aku lihat tanganku yang ada dalam genggamanmu. hangat dan sedikit lembab karena aku berkeringat.
kalau kamu tidak nyata, bagaimana aku bisa meraihmu?
aku tertunduk takzim.
Segalanya terlihat lebih jelas sekarang.
Nyata atau tidaknya aku yang ada di sudut mati ini bisa terbukti selama ada kamu yang menggenggam tanganku.