17. 000000

52 5 7
                                    

Dulu sekali saat ditanya saya takut apa, saya jawab calon orang besar tidak takut pada apapun. Dan begitulah saya hidup, tanpa mengenal rasa takut saya melibas langit menggemparkan lautan. 

Tak lama kemudian saya ditanya lagi, kali ini adakah yang saya takuti? Ketinggian yang saya jawabkan. Sekali, saya jatuh dari tangga dan tepat ketika kepala membentur lantai saya baru menyadari betapa fatalnya akibat yang terjadi jika tangga yang saya titi sedikit lebih tinggi. Kini, jarak yang dulu memompa darah dalam nadi membuat gentar. Kaki saya gemetar dan bergemelatuk, nyaris terkencing-kencing kala saya berdiri di atas ketinggian.

Esoknya saya ditanya lagi, ketakutan apa lagi yang saya punyai? Gelap. Saya takut gelap. saya tidak suka ketidakpastian yang terkandung dalam remang. Gelap memantik curiga dan hati saya sudah terlalu lelah. Saya tidur dengan lampu benderang, menyilaukan wajah. Saya menghindari bayangan dan entah kapan terakhir saya melihat gemintang. Langit malam yang pernah menjadi kekasih kini saya tinggalkan, demi cahaya semu dari neon yang makin lama makin buram.

Ketakutan saya makin bertambah ketika menyadari bahwa keramaian mengundang banyak potensi masalah. Ruangan yang terlalu luas membuat saya gelisah, kesendirian membawa momok tersendiri dan setelah lama saya pendam kemampuan rasa saya hilang. Saya mati, mati rasa, karena saya takut jika saya menangis alam akan menghujat saya sebagai orang yang lemah. 

Lonceng-lonceng ramai saya bunyikan. Tolong! Tolong! Tidak ada jawaban. Mungkin mereka sama-sama terpuruk dalam duka mereka sendiri, saya mencoba untuk mengerti. Tapi senyum-senyum yang terpajang seperti mengejek saya dan segala jenis ketakutan saya. Mereka mengadili saya dengan sebelah mata dan meninggalkan saya sendiri dalam sepi. 

atau mungkin hanya kira-kira? saya tidak tahu pasti, karena saya takut untuk bertanya.

lalu kemarin saya bermimpi, saya terbang bebas di tengah malam buta, saya mungkin hilang arah, tapi saya tidak peduli. di detik itu saya merasa bebas, saya merasa kembali menjadi bocah naif yang tidak pernah punya perasaan gentar. ketika bangun saya merenung dan menyadari apa sumber ketakutan saya yang sejati. 

saya takut pada diri saya sendiri. saya takut dia menjadi terlalu berani dan melepaskan satu-satunya harapan lalu melempar tubuh tanpa cangkang ini menghempas langsung ke atas kerasnya bumi.




nb:

untuk kalian yang juga merasakan ketakutan yang sama, saya cuma mau bilang kalian tidak sendiri. untuk kalian yang butuh teman bicara, mungkin bantuan yang saya tawarkan tidak besar, tapi saya bersedia untuk meminjamkan telinga dan berjanji kalau kita bisa melewati hidup kita kali ini bersama-sama. just write your heart out below or anywhere else, i'll be right here for you who sought some comfort. 

-T. Febri-

DemiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang