Raden Dimas Soerakoesoemah

173 23 0
                                    

Once upon a time, there was a prince who got attention to an instrument that he never seen it before. He wonder, how its work, how the sound, till he trying to play by himself and got interested.

"Mi, boleh aku les drum?"

"Drum? Kenapa tiba-tiba dek?"

"Gapapa mi, aku tertarik aja. Jadi boleh gak mi?"

"Oke boleh, besok kita cari tempat les untuk kamu ya dek." Gue senyum. Sumringah. Sangat.

***

"Dimas keturunan bangsawan ya?"

"Yaampun Dim, raden banget nih?"

"Macem pangeran-pangeran kerajaan gitu ya?"

"Biasanya anak mami nih kalo udah..."

Dan bla bla bla masih banyak lagi. Begitulah kesan orang kalo dengar namaku.

Egak kok, gak semuanya salah.
Satu, aku memang anak mami. Litterally karena memang aku panggil ibuku mami.
Dua, bukan pangeran kok aku sama kaya kalian seorang warga negara indonesia yang menjalani kemacetan ibu kota.
Tiga, bagian keturunan bangsawan gatau juga ya cuma ya emang udah turunan di kasih nama Raden.
Kata papi untuk mempertahankan warisan leluhur, karena kalo raden nya di buang sama aja gak mempertahankan warisan. Aku nurut aja deh sama papi, gak ada ruginya toh.

Oh dan hari ini aku sama mami memutuskan menghabiskan waktu untuk mencari tempat les buatku; Les drum. Kita keliling kota Jakarta dari pagi sampe malem, meskipun kepotong banyak sama urusan mami yang harus check and recheck stok barang di butiknya, sehingga pencarian tempat les harus tertunda tidak sebentar.

Setelah banyak menimbang berbagai hal ku putuskan cari tempat les sendiri tanpa mami, karena gak bakalan kelar kalo pergi bareng mami, yang ada bisa bulan depan ketemu tempat lesnya.

Jadi singkat cerita, aku berhasil survey beberapa tempat les dan membawa hasil brosur-brosur tempat bersangkutan untuk aku kasih lihat ke mami. Besoknya, kita langsung menuju tempat les dan mendaftar. Karena jarak tempat les dan sekolahku cukup memakan waktu maka itu diputuskan agar jadwal lesnya adalah pada akhir pekan, seminggu dua kali.

Tiga bulan kemudian pas di hari ulang tahunku yang ke 15, kalian tau apa hadiah yang mami kasih buat aku?

Seperangkat drum.

Iya, drum.

Aku bahkan gak tau lagi harus gimana ngungkapin rasa senengnya.

Mungkin kalau salto bisa cukup mengungkapkan rasa senangku, udah salto bolak balik kayaknya.

Drum itu jadi satu-satunya hal yang awet aku geluti selama ini. Sebelumnya aku udah pernah nyoba berbagai macam hal, mulai dari olahraga, masak, bahkan seni beladiri, cuma drum yang bertahan lama. Mungkin akhirnya aku menemukan passion yang orang-orang dewasa suka omongin itu. Meski lama juga aku ngerti apa itu yang mereka maksud passion.

Menginjak usia 18, aku masih menggeluti kegiatan menabuh drum. Tiga tahun, beberapa kontes dan pertunjukan pernah aku jalani dan membuahkan hasil yang lumayan buat nambah uang saku. Selain aku ketagihan karena bisa berpenghasilan, main drum itu jadi kebahagiaan tersendiri buatku karena bisa menyalurkan hobi dan mendapat dukungan penuh dari keluarga atas hal yang aku lakukan.

Gak jarang aku juga tampil di acara kumpul keluarga besar, menjadi pengiring saat mereka memutuskan membuat sesi konser kecil-kecilan yang melibatkan anggota keluarga yang ingin menyumbang suara untuk memeriahkan acara tersebut. Hal yang aku lakukan saat itu ternyata membuka jalan untukku melakukan sesuatu yang lebih besar dan bermakna untuk hidupku kedepannya. Memulai sesuatu yang aku geluti sebagai hobi, membuahkan suatu hal baru yang di sebut keluarga tanpa ikatan darah.

Rasanya seperti berpetualang dan merasakan berbagai hal baru dikehidupanku. Mendapatkan pelajaran berharga dari saudara-saudara baruku di keluargaku yang lain.

Everyday With UsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang