Chapter 4 (REVISI)

157 37 22
                                    




Seperti pagi biasanya, pagi ini gue sudah siap dengan seragam sekolah sialan ini dengan kedua kancing teratas yang sengaja tidak gue pasang, keluar kamar lalu melangkah ke arah dapur untuk mengambil segelas susu entah kenapa akhir-akhir ini tenggorokan gue sering sekali mengalami musim kemarau? Saat hendak memasuki pintu dapur gue sempat melirik ke meja makan disana ada si bocah tengik itu ia tengah duduk dengan wajah yang masih pucat, pandangan kosong menatap makanan yang dihadapannya itu sontak gue langsung menghentikan langkah menuju dapur, gue terus amati dia lekat-lekat, ya dia sama sekali tidak bereaksi apa-apa, mungkin dia merasa kesepian untuk pertama kalinya si bocah tengik itu sarapan di pagi hari sendirian dalam hati gue sedikit merasa kasihan padanya ketika mengingat dia selalu maksa gue untuk sarapan bersama, selama itu gue selalu menolaknya.

Niat ke dapur benar-benar gue urungkan, entah kenapa langkah kaki gue malah menuju ke arah meja makan, lalu gue duduk di depan si bocah tengik ini, tetapi dia sama sekali tidak menyadari keberadaan gue di sini, tentu saja karena pasti dia tengah memikirkan Bokap-Nyokap di luar negeri sana, si bocah tengik ini kan tidak pernah pisah dari mereka.

Untuk yang kedua kalinya, entah kenapa naluri gue sebagai seorang kakak terus ingin mengkhawatirkan keadaan si bocah tengik ini.

"Dimakan, jangan bengong." Untuk pertama kalinya, kalimat itu keluar dari mulut gue untuk memulai pembicaraan pagi dengan si bocah tengik ini.

Si bocah tengik tampaknya tersadar dengan keberadaan gue di pannya lalu ia mendongakkan kepalanya lalu menatap gue, seulas senyum terbit di bibir si bocah tengik ini gue, sementara gue hanya menatapnya sekilas lalu mengalihkan pandangan ke arah makan yang tersaji di meja.

"Akhirnya kakak mau juga sarapan bereng, Satria." Gue sama sekali tidak menghiraukannya, rasa ego ingin membenci si bocah tengik ini terlalu kuat bergejolak ketika gue menyadari hanya dialah yang di anggap anak di rumah terkutuk ini.

"Makasih ya kak, Satria seneng bisa sarapan bareng kakak."

Iya seharusnya gue juga senang sarapan bareng si bocah tengik ini karena dia adalah adik kandung gue, tapi kenapa mulut ini bungkam untuk mengatakan hal itu. kau sungguh kakak yang buruk Azka!

"Untuk pertama dan terakhir kalinya gue duduk disini nemani lo makan."

Justru itulah yang malah keluar dari mulut gue untuk menanggapi ucapan si bocah tengik ini, Bocah tengik maafkan gue, gue terpaksa harus membenci lo, karena dengan membenci lo itu sebagai dasar pelampiasnya gue, rasanya kita benar-benar bisa inpas sekarang, lo nggak dapat pengakuan dari gue orang yang selalu lo harapakan sebagai kakak dan gue nggak akan pernah dapat pengakuan dari kedua orangtua yang selama ini selalu membanggakan lo, benar-benar adil bukan?

"Makasih, Kak." Ucapnya lirih wajahnya yang tadi tampak ceria berubah menjadi muram, dia mengambil roti lalu mengoleskan selai kacang dan menaruhnya dipiring depan gue.

"Makan kak." Serunya lagi mempersilahkan gue makan dengan roti yang sudah dioleskan selai kacang olehnya tadi, pura-pura menulikan ucapan si bocah tengik itu dengan sedikit perasaan canggung gue mengambil roti tersebut lalu memakannya sampai habis.

"Satria, pamit pergi duluan ya kak. Selamat makan!" Ucap si bocah tengik itu dengan seulas senyumnya seraya beranjak dari meja makan meninggalkan gue.

Oke Azka, kembali menjadi dirimu yang seutuhnya ingatlah bocah tengik didepanmu ini adalah orang yang patut kau benci jangan karena dia bersikap manis di depanmu, kau langsung melupakan penderitaanmu selama ini.

***

Setibanya gue di sekolah bel masuk sialan itu langsung berdering kencang hingga mengakibatkan gue harus menutup kedua telinga, rasanya gue pengen ngengablek kepala orang yang membunyikan bel di pagi hari ini, gue langsung menuju ke kelas terkutuk itu. setiba di kelas gue langsung menemplokan pantat di bangku kebesaran gue yang letakknya setrategis sangat strategis yang membuat gue benar-benar ingin mematahkan leher guru yang menempatkan gue tepat di bangku paling terdepan, katanya biar mempermudah pengawasan terhadap gue, dan sialnya lagi sudah hampir satu minggu gue duduk sendirian di bangku terkutuk ini karena teman sebangku gue si kunyuk itu masih di rawat di rumah sakit.

Dear BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang