Chapter 1 (REVISI)

208 62 56
                                    


Happy Reading!

***

Makhluk gila semacam apa yang mengetuk pintu kamar gue dijam segini, perasaan ayam tetangga gue saja belum mengumandangkan kokokannya itu, kenapa gedoran di pintu itu semakin kencang saja, perlahan gue buka mata. Dan ternyata gue ketiduran dimeja belajar sialan ini buku-buku masih berserakan di atas meja, gue lirik ke arah tong sampah dan sial ternyata gue muntah lagi karna telah maksain belajar, gue lirik lagi ke arah jam, jarum pendek mengarah ke angka delapan dan jarum panjangnya mengarah ke angka enam, dan gue yakini sekarang sudah jam setengah sembilan. Tapi kalau ini pagi kenapa gue nggak dengar bunyi ayam tetangga berkokok seperti biasanya yang sering gue denger. Malah yang gue dengar sekarang hanyalah gedoran pintu yang semakin keras. Gue lirik lagi ke arah jendela, oh ternyata hari masih malam pantas saja ayam belum ada yang berkokok, aghh lupakan tentang ayam tetangga yang selalu berkokok dipagi hari itu. Sekarang siapa makhluk gila yang menggedor-gedor pintu kamar gue dijam segini.

Perlahan dengan mata yang sedikit terpejam gue langkahkan kaki menuju ke arah pintu untuk menggapai knop pintu sialan itu. baru berjalan beberapa langkah gue sedikit terasa limbung hampir terjengkang kebelakang kalau gue nggak cepat nyeimbangin tubuh. Gue pegang knop pintu itu dan memutarnya lalu menariknya perlahan. Dan kalian tahu siapa yang tengah berdiri di ambang pintu sekarang ini? Si bocah tengik yang katanya ini adalah adik gue. Ck betapa memuakkannya gue melihat bocah tengik satu ini.

"Kak, muka kakak kenapa pucat gitu?" Si bocah tengik ini bertanya sok peduli banget dia. Gue bener-bener kesal sama si bocah tengik depan gue ini, berani-beraninya dia mengganggu tidur panjang gue. oh ya gue lupa inikan sudah menjadi rutinitasnya setiap malam mengetuk pintu kamar gue ini, lagi-lagi itu yang buat gue tambah jengkel sama nih bocah tengik. Kalau tidak mengajak makan pasti hanya untuk menyakan hal-hal yang tidak penting.

"Ngapain lo kesini?" Peduli setan menjawab pertanyaaan basa-basi-busuknya itu yang ingin gue tahu kenapa dia ada di hadapan gue sekarang ini. Apakah kembali mengajak makan lagi? ataukah si bocah tengik ini ingin bertanya hal-hal yang tidak penting lagi?

"Makan malam kak. Mama sama Papa udah nungguin dimeja makan." Benarkan? Dia mengajak gue makan. Meja makan? Rasanya tempat itu sudah tidak tertarik lagi untuk gue tempati sebagai tempat makan. Terlalu malas untuk mendengarkan pertnyaan dan ocehan Bokap.

"Suruh Bi Surti aja yang anter gue makanan." Tegas gue sedikit tajam. Namun si bocah tengik ini masih saja tetep keukeuh mengajak gue makan bersama mereka.

"Ayolah kak, sampai kapan sih kakak mau ngindar terus dari Mama dan Papa. Hargai mereka yang udah mau nungguin kakak di meja makan." Wajahnya sedikit memelas.

"Gue tegasin sekali lagi sama lo ya! Kalo mereka berdua itu bukan Bokap ataupun Nyokap gue. Bokap-Nyokap gue itu Mang Rahman sama Bi Surti, Paham lo?" Ucap gue sedikit dengan nada membentak, hampir ribuan jawaban yang sama gue lontarkan pada si bocah tengik ini kalau dia mengungkit urusan harga-menghargai. Emang begitukan kenyataannya?! Buat apa menghargai mereka kalau mereka saja tidak pernah menghargai keberadaan gue dirumah ini.

"Kak Azka berhenti kaya gini terus. Kalau kakak nggak mau menghargai mereka setidaknya hargai usaha Satria yang terus-terusan membujuk kakak untuk makan bersama. Entah itu makan malam ataupun sarapan di pagi hari. Sekali aja kak, hargai usaha Satria selama ini." See? Si bocah tengik ini kembali membentak gue. benar-benar adik yang menyebalkan. Pingin banget melayangkan satu tinjuan lagi di wajah yang sok manisnya itu. memangnya siapa yang menyuruhya melakukan hal bodoh semacam itu, benar-benar menguji kesabaran.

"Gue nggak pernah nyuruh lo untuk ngelakuin hal bodoh semacam itu. sudah gue tegasin beberapa kali kalau gue itu anak Pem-" Sial si bocah tengik ini memotong ucapan gue.

Dear BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang