Chapter 6

67 10 4
                                    


Selamat membaca guys, jangan lupa tinggalkan jejak ya😊
.
.
.
.
.

Tak butuh waktu lama untuk gue mengendarai mobil sport milik bocah tengik ini, gue sudah berada tepat di depan rumah sakit Harapan yang tak jauh jaraknya dari sekolah, gue langsung turun dari mobil dan membuka pintu penumpang di belakang lalu perlahan mengeluarkan Satria dari dalam sana, perlahan gue memapahnya memasuki rumah sakit, dan jantung gue dari tadi terus saja berdetak abnormal, gue benar-benar khawatir dengan kondisinya.

Begitu sampai di dalam rumah sakit, gue langsung memanggil suster untuk membantu Satria dan untungnya para suster langsung dengan sigap mengambil alih Satria memindahkannya ke brankar lalu langsung melarikan Satria ke ruangan UGD

Lima belas menit berlalu begitu saja, tetapi dokter yang memeriksa keadaan bocah itu belum juga keluar dari ruang rawat itu, jantung gue memompa begitu cepat. Rapalan doa terus gue ucapkan untuk bocah itu, gue hanya bisa berharap semoga bocah tengik itu baik-baik saja, entah kenapa sekarang gue benar-benar mengkhawatirkannya, apa ini yang dikatakan sebagai naluri seorang kakak? Kalau iya. Fiks, sekarang gue benar-benar merasakannya.

Sekian lama gue mondar-mandir barulah dokter yang menangani bocah itu keluar dari ruang pemeriksaan, buru-buru gue menghampirinya.

"Apa anda keluarga pasien?" Tanya Dokter itu sebelum gue bertanya terlebih dahulu.

"Iya Dok, dia... Adik saya dok, jadi bagaimana kondisinya sekarang? Tanya gue langsung tanpa berbasa-basi lagi.

Dokter itu tampak menghela napas sejenak sebelum berkata, "Kondisinya saat ini benar-benar buruk, sistem kekebalan tubuhnya menurun drastis akibat kelelahan yang berlebihan, saya sarankan dia jangan sampai terlalu kelelahan karena itu akan mengancam kinerja jantungnya yang begitu lemah, dia harus dirawat disini selama beberapa hari,"

Gue tertegun sesaat, bocah itu memang akhir-akhir ini disibukan dengan latihan basket sampai-sampai ia sendiri lupa akan kesehatannya, jadi apa yang harus gue katakan sama Bokap-Nyokap tentang kondisinya saat ini. jujur saja disamping itu gue benar-benar mencemaskannya.

"Baik dok terimakasih, apa sekarang saya boleh melihat adik saya?"

"Ya, silahkan." Kata Dokter itu sambil berlalu dari hadapan gue, tanpa pikir panjang gue langsung memasuki ruang tempat bocah itu dirawat, pemandangan pertama yang gue lihat adalah selang infus yang terpasang dipunggung tangan bocah itu, gue baru ingat satu hal kalau bocah ini punya kelain yang cukup aneh, dia takut dengan obat-obatan kalau dia terbangun gue yakin seratus persen dia pasti bakal menangis sejadi-jadinya minta pulang. Kepala gue pening seketika, memikirkan cara apa agar bisa membuat bocah itu bertahan di rumah sakit ini sampai dia bisa pulih kembali.

Gue perlahan mendekat lalu duduk di kursi yang tersedia di samping brankar tempat bocah itu di berbaring saat ini, setelah ini kalau dipikir-pikir gue bakal coba buat jadi kakak yang baik buat bocah ini, gue rasa ini belum terlambat untuk itu. biar bagaimana pun kami lahir dari rahim yang sama. Ya gue akui sekarang gue benar-benar sayang sama bocah ini, gue nggak mau kehilangan dia. Meskipun terkadang bikin gue kesal tapi sekali lagi gue akui kalau gue itu sayang sama dia.

Perlahan kelopak matanya mulai bergerak, gue semakin panik. Kalau bocah ini bangung bisa-bisa dia membuat keributan di rumah sakit ini, dan sialnya matanya terbuka sambil ia mengedarkan pandangannya keseluruh penjuru ruang tempat ia dirawat saat ini, tiba-tiba bibirnya bergetar hebat lalu ia bersingsut duduk sambil memeluk kedua kakinya, gue semakin panik ketika gue liat dia menangis sejadi-jadinya.

"Ka—k, ken—apa bawa Satria kesini?" Ucap bocah itu disela-sela tangisnya, sebelum ia membuka secara paksa selang infusnya gue buru-buru menahan tahan tangannya yang semakin memberontak.

Dear BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang