Didedikasikan untuk Els_nvr
Di areal pemakaman, suasana duka menyelimuti sebuah keluarga inti. Para pengantar dan penziarah sudah pulang sejak lima belas menit yang lalu. Mega mendung, lengkap dengan tetesan air jatuh dari langit seolah menegaskan kesan kesedihan mendalam, menggerogoti jiwa keempat manusia yang sedang berkabung di bawahnya.
Arum bergeming di sisi kiri pusara Wijaya Kusuma. Tak peduli dengan gerimis mengguyuri, membasahi sebagian tubuhnya. Sebab, dia menolak payung yang ditawarkan oleh Masayu. Wajah Arum terlampau datar, tenang. Tidak ada sorot kesedihan terpapar ataupun air mata yang berjatuhan. Namun, tidak ada yang bisa memastikan dalam diri wanita itu baik-baik saja. Sejak Wijaya Kusuma dinyatakan telah berpulang ke sisi tuhan, tak ada satu patah kata pun meluncur dari bibir istri seorang Bramastha Wijaya itu. Sikap itu diambil, seolah untuk menguatkan dirinya sendiri.
Masayu berdiri di sisi kiri, merangkul--sedikit meremas bahu putri tertuanya. "Arum, ayo pulang, Nak. Tugas kita sudah selesai. Kita sudah mengantarkan Kakek ke tempat pengistirahatannya yang terakhir." Masayu mencoba membujuk Arum. "Hujan mulai deras, tubuhmu juga basah. Kau bisa sakit jika berdiri di sini terus menerus."
Arum tetap diam. Pandangannya tak lepas dari gundukan tanah basah dan berwarna merah di bawah kakinya. Tepat di balik timbunan tanah itu, orang yang paling dia sayangi, dihormati lebih dulu meninggalkan dirinya seorang diri. Ya, seorang diri. Selain sosok Wijaya, Arum tak merasa dia punya keluarga lain atau menganggap dirinya benar-benar bagian dari keluarga.
"Pulanglah, aku tetap ingin di sini." Suara Arum nyaris tidak terdengar jika seluruh anggota keluarga Wijaya Kusuma tidak memasang telinga mereka baik-baik, terkecuali Bram sendiri. Pria itu tidak ikut serta mengantarkan jenazah sang tetua Wijaya ke pemakaman. Wisnu dan Masayu mengutuk Bram karena sikapnya itu, akan tetapi Bram bergeming. Pria bahkan itu mengurung diri di kamarnya, enggan bertemu atau memulai percakapan dengan siapa pun.
"Arum jangan begini, Nak. Mama mohon," isak Masayu. "Kita pulang, Nak. Jangan menyiksa dirimu seperti ini. Kakek akan sangat sedih melihatmu dari atas sana," Wisnu menimpali perkataan istrinya.
Tak tinggal diam, Shellomitha, putri bungsu keluarga Wijaya ikut melunakkan hati si Sulung meskipun dia sendiri terisak dalam dekapan ayahnya--Wisnu Wijaya. "Kak Arum, kita pulang ya. Almarhum Kakek pasti tidak menginginkan kak Arum bersikap seperti ini. Kita pulang ya, Kak."
Arum mengangkat pandangannya dari pusara Wijaya, lalu membalas tatapan seluruh anggota keluarganya. "Kalian pulanglah, aku masih ingin di sini."
Arum berujar lirih, namun ketegasan tak ingin dibantah begitu kental terdengar di dalam nada suaranya hingga semuanya memutuskan mengalah.
Upaya terakhir yang dilakukan Masayu adalah mencoba menawarkan payungnya pada Arum, namun tetap tak indahkan. "Ya sudah. Mama, Papa, dan Shello pulang duluan. Kau juga segeralah pulang, sebentar lagi masuk waktu Magrib. Tidak baik jika kau masih berdiri di sini, Nak."
Semua berbalik pergi, tapi sesekali masih menoleh ke belakang. Mencuri-curi tatapan ke arah Arum yang enggan bergerak sedikit pun dari makam sang kakek. Ada sebagian dalam diri Masayu, Wisnu maupun Shellomitha tak ingin meninggalkan Arum sendirian di area pemakaman dalam keadaan gerimis mengguyur. Terlebih lagi hari akan menjemput malam.
Akan tetapi kekerasan kepala putri sulung mereka itu seakan tidak ada yang bisa menaklukkannya. Satu-satunya orang yang dapat melakukan, melunakkan ego Arum hanyalah Wijaya Kusuma yang telah baru saja dikebumikan hari itu juga. Tidak banyak yang bisa dilakukan selain membiarkan Arum dengan keinginannya, berharap wanita itu baik-baik saja dan segera menyusul pulang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Hope(less)
Romance"Kau tahu bagian paling berengsek dari cinta? Yaitu berjuang dengan rasa itu sendirian." Posisi Arum hanya sebagai anak angkat dan dianggap sebagai musuh terberat memperebutkan warisan oleh pria yang dia cintai sekaligus sang adik angkat, kerap kali...