10. Pengakuan

9.6K 909 121
                                    

Didedikasikan untuk Mila_Za


"Kau tahu bagian paling berengsek dari mencintai?

"Yaitu, jika berjuang dengan rasa itu sendirian."

----Cendara Arum----


❤❤❤❤❤❤❤


Keesokan paginya, Masayu mengetuk pintu kamar Arum, membukanya perlahan. Kemudian berhenti ketika melihat Arum tengah menelepon---entah siapa.


Arum menoleh. Dengan tatapan menyambut, dia memeragakan isyarat dengan tangan kirinya, mempersilakan Masayu masuk.



"Ya. Tolong kau atur semua dengan baik, Niken. Saya percayakan urusan toko hari ini padamu," perintah Arum pada seseorang di ujung telepon. "Sudah dulu, nanti saya telepon lagi. Bye," sambungnya lagi, lalu memutus panggilan sepihak.


Arum melempar ponselnya di atas kasur begitu saja, lalu perlahan mendekati Masayu yang berdiri tak jauh darinya. Ada degub tidak nyaman di dadanya ketika memandang lurus ke dalam mata sang mama angkatnya itu, tapi entah apa? Arum sendiri tidak paham.



"Ya, Ma? Ada apa? Perlu sesuatu dengan Arum?" tanya Arum pelan. Sangat mengatur nada suaranya selembut mungkin.



"Iya, Mama ingin bicara serius padamu, Arum. Ada waktu, atau kau sedang buru-buru, Nak?"



Arum meletakkan kedua tangannya di lengan atas Masayu kemudian mengusap-usapnya pelan. Sembari menggeleng, Arum melempar senyum tipis untuk sang mama.


"Duduk dulu, Ma."



Masayu menurut saat Arum sedikit menarik tubuhnya dan mendudukkannya di kursi---di samping tempat tidur, sementara Arum sendiri duduk di pinggir ranjang. Posisi mereka berhadapan, sangat nyaman jika berbincang-bincang.



Arum diam, membiarkan sang mama dari pria yang dia cintai itu menyusun kalimat-kalimat yang akan disampaikan kepadanya. Dalam keheningan beberapa menit itu punggung Arum seakan dialiri gelenyar dingin tak nyaman, membuat bulu halus di tengkuknya terbangun.



Dalam hatinya----sebenarnya bertanya-tanya, tapi saat itu Arum di antara takut dan penasaran secara bersamaan. Warna retina mata yang sama persis dengan Bramastha itu memandangnya dalam, nyaris berkilat-kilat penuh peringatan. Bagaimana Arum merasa tidak gugup, cemas bila seperti itu keadaannya? Itu pertama kali dalam sejarah hidupnya ditatap sedemikian rupa tanpa jejak-jejak lengkungan manis di sudut bibir sang mama, namun Arum tetap berpikiran baik  saja. Dia tidak mau berburuk sangka kepada Masayu. Mungkin sang mama sedang lelah.



"Jawab Mama dengan jujur, Arum. Apa kau mencintai adikmu sendiri?"


Deg!


Arum merasa jantungnya tergelincir ke perut saat itu juga. Meski cara berbicara atau nada yang dikeluarkan Masayu sangat pelan dan lembut, namun entah mengapa Arum menangkap kesan lain di dalamnya.
Kasar dan menuduh.

Berpikir Arum! Cari alasan!


Arum berdeham, membasahi kerongkongannya. "Mengapa Mama bertanya seperti itu?" tanyanya.

"Jawab saja, Arum."


"Apa Mama keberatan dengan keputusan Kakek menikahkan kami?" selidik Arum.


"Ya. Mama sangat keberatan." Jawaban Masayu sangat mengejutkan bagi Arum. Dia sampai menahan napasnya ketika mendengar itu.


"Tapi kenapa Mama baru mengatakannya sekarang?"



Our Hope(less)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang