8. Yang Lalu Tidak Bisakah Berlalu?

10.4K 817 69
                                    

Didedikasikan untuk misskandar

Holaaaaa... part flashbacknya dipending dulu ya...

Soalnya nggak seru lagi kalo udah dibongkar diawal-awal... tapi sebagai gantinya saya akan selipin adegan-adegan flashbacknya.

Jadi biar ngalir aja ceritanya, tanpa harus dibuat part sekali pun. Authornya geje yak?!

#digebukin XD XD. Happy Reading...

********************************************



"Ada apa, Kek? Kenapa bicaranya harus tertutup seperti ini? Kenapa Mama, Papa atau yang lainnya tidak diperbolehkan ikut mendengar?"



Kakek Wijaya tersenyum tipis. Dia menyadari ketakutan yang berkemelut di benak Arum. Dia bisa menyimpulkannya dari sorot mata, dan juga nada getar suara Arum ketika menyongsongnya dengan beberapa pertanyaan tadi.


"Sesuai perjanjian mendiang kedua orangtua kandungmu dengan Kakek sendiri, di usia Bramsatha dua puluh tujuh tahun, kalian akan segera dinikahkan.

"Dan sekarang waktunya kalian diikat dalam tali perkawinan yang sah! Kau dengar itu, Arum?"

APA?!


"Kakek ... a--aku tahu ini tidak sopan, tapi maaf b--bisakah Kakek ulangi perkataan Kakek barusan? Ah ... aku yakin aku salah dengar tadi," tutur Arum antara yakin tak yakin dengan pendengarannya.

"Kau dan Bram akan segera menikah, Arum. Ini perintah! Lebih tepatnya sumpah untuk menikahkan kalian. Kau dan Bramashta." Nada tekanan di akhir kalimat benar-benar membuat Arum seperti habis mendengar berita kematian. Syok! Matanya membesar, menatap horor ke arah kakek Wijaya yang juga membalasnya dengan tatapan serius, tidak ada kilat lelucon di dalamnya.

Kegilaan macam apa lagi ini?


"KAKEK!! ini sama sekali tidak lucu! Kakek tahu, itu tadi sungguh keterlaluan!" Arum tidak bisa lagi untuk bersikap tenang. "M--maaf, Kek. Aku ...." sesalnya merasa sudah bertindak kurang ajar.

"Kakek tahu reaksimu akan seperti ini, tapi Kakek sama sekali tidak berniat bercanda denganmu, Arum!"

"Lalu yang tadi itu apa?!" tanya Arum sengit, sedikit meninggikan suaranya---emosinya terpancing naik ke permukaan. "Bukankah di surat wasiat itu seluruh aset jatuh ke tangan adikku jika dia menikah saat usia Bram dua puluh tujuh tahun? Dan i--itu apa lagi? Tolong hentikan permainan ini, kek."


"Apa yang Kakek katakan dan kau dengar itu tidak main-main, Arum. Kakek ulangi sekali lagi ... kau dan Bram akan segera menikah.

"Kakek tidak bohong jika tadi Kakek mengatakan karena terikat janji dengan Almarhum Ayahmu. Kemarilah, akan Kakek tunjukkan surat wasiat itu kepadamu." Kakek Wijaya menarik sebuah laci kayu di meja kerjanya lalu mengeluarkan sebuah map berwarna biru tua yang tampak usang. Arum beranjak cepat dari duduknya, dengan tubuh gemetar dia berjalan pelan menghampiri Kakek Wijaya.


Tangan renta Kakek Wijaya cekatan membuka lembar demi lembar yang ada di dalam map, dan itu semua tak luput dari penglihatan Arum hingga terhenti di tengah halaman. Kemudian menarik selembar kertas dilapisi plastik lalu menyodorkannya ke arah Arum yang kini berada di depan kakek Wijaya---di seberang meja.


Dengan tangan gemetar, Arum membaca saksama kertas yang bertulisan tangan huruf tegak bersambung namun begitu rapi. Rasanya sulit untuk mempercayai, tapi fakta menyebutkan lain. Kakek Wijaya tidak sedang memberinya lelucon, sumpah perjanjian itu telah dibuat---ada, bahkan sebelum Bramastha dilahirkan.


Our Hope(less)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang