1. Prolog

39.1K 1.6K 96
                                    

Tanpa peringatan, Bram mengangkat bibirnya dari bibir Arum--dengan tarikan yang tiba-tiba dan nyaris menyakitkan. Mengharuskan Arum membuka paksa matanya.

"Ya Tuhan." Bram mendorong lepas tangan Arum dari lehernya, lalu mendorongnya menjauh. Seolah tubuh Arum panas membakar seperti api. "Apa yang kulakukan?" tanya Bram dengan napas terengah.

"Kurasa--" Arum terdiam kemudian menghela napas, mencoba menguatkan diri, "kurasa, kau baru saja menciumku."

Bram terbelalak menatap Arum, seolah merasa ngeri. Tangannya bergerak gugup menyusuri rambut. "Ada apa pada dirimu, yang membuatku melakukan tindakan bodoh tadi?"

"Wah, terima kasih banyak," balas Arum merasa terluka, semua kegembiraannya menguap. "Jadi, menciumku adalah tindakan bodoh? Begitukah maksudmu?"

"Lebih dari bodoh." Bram menyembunyikan wajahnya di balik tepalak tangan, kemudian mengusapnya secara kasar . "Ini gila. Kau membuatku melakukan hal-hal di luar batas kehormatanku, di luar akal sehat, bahkan di luar kendaliku."

"Membuatmu?" ulang Arum tak percaya, "dari semua hal yang tidak masuk akal dan tidak adil--" Ucapan Arum terputus, tubuhnya gemetaran karena amarah yang menguasai. Butuh waktu beberapa saat sampai bisa kembali bicara dengan normal.

"Aku tidak membuatmu menciumku! Aku hanya berdiri di sini," kilah Arum.

"Apa pun yang kau lakukan, itu membuatku gila." Bram memelototi Arum dengan kebencian yang jelas terlihat. "Jika ini dunia Harry Potter, mereka akan membakarmu sebagai penyihir."

"Oh ya? Itu menjelaskan segalanya. Aku penyihir dan merapalkan mantra atas dirimu." Arum mengoyangkan jemarinya di depan wajah Bram dengan gaya seperti menghipnotis, lalu berhenti menudingkan jarinya.

"Sihir cinta!"

"Cinta?" Bram mengucap kata itu dengan jijik, tatapan pria itu menjelajahi tubuh Arum. "Aku bisa menjamin, cinta tidak ada hubungannya dengan ciuman kita tadi!"

Pernyataan merendahkan itu adalah tusukan tepat mengenai hatinya. Tangan kanan Arum terangkat dan menunjuk ke arah pintu, suaranya terdengar seperti desisan tertahan di sela gigi, "pergi, sekarang juga."

"Gagasan bagus." Bram berbalik dan berlalu menuju pintu. "Seharusnya aku tidak turun kemari."

"Aku sangat setuju," seru Arum dari belakang pria itu.

Bram terus berjalan tanpa menyahut, bahkan tanpa menoleh ke belakang. Arum merasa sangat terhina dari segala yang sepanjang hidupnya rasakan. Bagaimana mungkin Bram menganggap yang baru saja terjadi adalah salahnya? Pria itu turun dari lantai atas dan menciumnya, kemudian menghinanya. Lalu apa? Bisa-bisanya Bram menyalahkan Arum atas kelakuannya sendiri.

Sungguh keterlaluan!

Arum tersenyum kecut. Lebih tepatnya, menertawakan diri sendiri. Betapa menyakitkan mendapat pandangan merendahkan dari pria terhormat bernama Bramastha Wijaya. Pria itu juga menunjukkan kebenciannya dengan sangat jelas. Arum sejatinya menyadari, tapi keegoisan hati menutup semua logikanya.

"Ya Tuhan." Arum pasrah, namun benaknya masih mencari-cari jawaban atas apa yang tengah dia rasakan.

Salahkah aku? Aku juga berhak jatuh cinta, bukan?

Salah! Cintamu tidak pada tempatnya, Tolol!

Arum menggeleng lemah. Bagaimana bisa, dia membiarkan rasa itu berkembang atau mungkin pesona pria itulah yang terlalu sulit ditolak?

Itu salah. Jelas salah. Cinta yang dia miliki, tumbuh dan merekah, sekaligus meremukkan hatinya. Pada akhirnya, Arum memahami, perasaannya sampai kapan pun tidak akan pernah berbalas, karena pria itu sudah terikat pada satu cinta. Satu wanita.

Sadarlah. Tidak ada celah untukmu di hatinya!

***************************************************

Tbc. Maaf.. Buka update, malah bikin cerita baru.

Wkwkwkwk. Tangan saya udah gatel aja, mau nulis cerita ini. Enjoy ya..!!






Our Hope(less)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang