File 17 (a) - Gayat

13.8K 1.9K 349
                                    

Kalau semua keberengsekan ini berakhir, aku akan segera pergi dari Indonesia. Entah kembali ke Prancis atau berkeliling dunia menghabiskan uang hasil jerih payah menantang maut bertahun-tahun. Semakin kupikirkan, semakin aku kesal. Kubanting kuas ke lantai, meninggalkan bercak cat minyak.

"This shit makes me want to punch someone. Fuck." Aku mengelap tangan dengan kain, lantas melenggang ke depan setelah mendengar suara langkah kaki dan suara seseorang.

Melihat Dipantara menenteng beberapa kaleng soda, aku memutar mata.

"Kamu tahu kan, I better drunk my self instead let it through my throat." Aku menunjuk kaleng soda yang dibawanya.

Dipa menyengir dan meletakkan kaleng soda, kunci mobil, dan ponsel ke meja. Ia melangkah menuju dapur membawa belanjaan dan mengatakan berniat membuatkanku makan malam. Aku menyengir. Kugaruk kepalaku yang tak gatal.

"Ya ya, buruan ya. Aku lapar. You shall feed the queen in here." Aku melempar diri ke sofa, duduk bersilang tungkai.

Dipa mengacungkan spatula dan mulai menyibukkan diri. Selama itu, ia berceloteh tentang segala hal yang membuatku mengangguk-angguk saja mengiyakan.

"Aku dapat surat kaleng dari tim Ramses," kataku seraya mengamati kaleng soda dan memain-mainkannya.

"Dan?"

"Mereka masih mau melanjutkan rencana. Belum ada pergerakan dari target. Kayaknya mereka lebih hati-hati biar nggak kecium lagi. Bahkan bisa dibilang... suasananya sangat clear. Ini agak aneh, sih."

"Mungkin gara-gara kasus penjualan mutiara ilegal itu, mereka ngambil sikap defensif dan bergerak lebih pelan."

"Apa yang sebenarnya mereka rencanakan?" Aku menghela napas panjang. Masih jelas di kepalaku kejadian di pantai waktu itu. Dan bagaimana si keparat Jonas menembakku.

"We need Anarki to analysing the truth."

Masalahnya, ia tak mau lagi terlibat dan ingin hidup tenang. Aku menghargai keputusannya. Ya, well, meski di antara kami ia yang paling pandai membaca situasi dan rencana. Lagi-lagi aku mendesah.

"Aku pengen mabok semaleman tapi kamu malah bawa toxic ke sini. The fuck!"

Menanggapi ucapanku, Dipa terkekeh. Aku mencondongkan badan berniat meraih rokok dan korek. Ekor mataku bergerak menuju ponsel Dipa yang berkedip. Di layar, seseorang mengirim pesan. Tanpa membukanya, aku bisa membaca potongan pesan tersebut.

Hey, when will you come back here? I miss you. Kangen banget! Buruan balik ke kampus dasar mahasiswa bandel! :(

Selama beberapa detik, aku memerhatikan pesan yang dikirim oleh 'Maharani'. Pandanganku beralih menuju Dipantara yang tersenyum padaku. Tanpa kusadari, aku meremas kaleng soda sampai penyok.

*****

"Do you understand how so upset I am right now?" Mara bertanya di sebelahku saat kami berjalan berdua di swalayan. Ia meraih pembalut dan melemparnya ke kereta belanja yang kudorong. Sambil melihat-lihat barang di rak, ia mengomel. "Kalau duitku udah habis buat foya-foya, aku bingung kerja apa lagi biar dapat duit banyak." Ia melempar tisu ke kereta belanja.

"Kamu serius mau pergi?"

Mara memutar badan. "What do you expect? I have no fucking life."

Aku mengangkat bahu. Rambutnya yang sedikit memanjang di leher bergoyang saat menoleh dan memilah-milah produk sampo.

"Ya... Kamu sama Dipa mungkin?" Aku mencoba berhati-hati menggunakan kalimat seperti itu.

KLANDESTIN (Trilogi) (SLOW UPDATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang