File 23 - Partitur

25.7K 2.3K 833
                                    

FILE INI SANGAT PANJANG. TOLONG SEMPATKAN BUANG AIR KECIL DAN BESAR SEBELUM MEMBACA. THANKS.

BACA SAMPAI ADA TULISAN "SELESAI" LOH YA!!!

Silakan putar musik di mulmed

---

"Enak?"

Mataku menyorot lurus-lurus bersitatap dengan si bajingan yang kini berdiri di balik jeruji besi yang mengurungku bagaikan binatang liar. Duduk menggelesot di lantai dengan lebam dan luka menganga di beberapa bagian, mulutku terbungkam. Tidak hanya karena nyeri di sudut dan bawah bibir yang terkena tendangan, juga meredakan amarah yang ingin meledak seperti magma. Tanganku terkepal erat.

"Mungkin, kita harus menunda kematian kamu, Sayang."

Aku masih terdiam. Jonas berdecak beberapa kali.

"Kenapa jadi pendiam, Sayang?"

"Enyahlah," pada akhirnya kata itu yang berhasil keluar dari mulut lebamku.

Bibirnya tercebik. Tak berselang lama, beberapa orang bertubuh besar menyeret seorang lagi. Aku spontan berjingkat berdiri dan mencengekram jeruji sampai buku-buku jariku memutih. Wajahku merah padam, terlebih kulihat seseorang yang diseret mengangkat kepala dan menampakkan wajahnya yang juga lebam, menatap ke arahku, memberikan seringai.

"What the fuck did you do?" aku meradang pada Jonas. Kulayangkan perhatian menuju Dipantara yang dilempar ke dalam kurungan, di sebelahku. Bibirku bergetar tak mampu mengendalikan lagi kemurkaan yang sejak tadi menggunung di dalam dada. "Keluarkan dia dari sini! Dia nggak ada urusannya sama kalian!"

"Tidak ada urusan? Dia ikut campur. Setelah kamu dan dia, kami akan meringkus sisanya."

Anarki dan Nirbita?

Aku menghentak-hentak jeruji besi dan menggerung. "I swear to God will roll your fucking head. For God's sake! Ingat perkataanku ini."

"Nice try. Semoga kamu dikasih kesempatan lebih lama untuk hidup dan mewujudkan keinginanmu. Mimpi indah, Cantik." Dan ditinggalnya aku dengan suara teriakan kesal.

Kuhentak jeruji besi di depanku keras-keras sampai tanganku memerah. Memaki berkali-kali pun tak bakal membuatku lepas dari tempat ini. Aku mengusap rambut ke belakang dan beralih mendekati tembok yang memisahkanku dengan Dipa.

"Dip, are you okay?"

"Never been better," ia menjawab mantap.

Aku menghela napas panjang, duduk bersandar pada dinding. Suara napasku yang memburu terdengar cukup keras di antara kesunyian. Muka dan mataku sudah bengap. Tak tahu bagaimana wajahku kini—dan peduli setan. Kepala kutengadahkan berhadapan dengan langit-langit kelabu muram. Di mana aku?

"Kok bisa di sini?" bisikku serak nyaris seperti dengking anjing.

"Aku nyari kamu dan ngelihat kamu dibawa mereka."

"Kenapa nggak lari?"

"Lari?" Kudengar suara tawa kecilnya. "Kamu tuh kayak magnet bagiku, Mar."

"Aw," nada suaraku datar.

Terjadi kesenyapan lagi. Mataku terpejam selama beberapa menit. Dingin lantai dan dinding yang memenjaraku perlahan-lahan melesap dalam tubuh, hingga tak terasa lagi di kulit.

"Aku nggak percaya bisa segoblok ini," kataku lagi. Lebih pelan daripada sebelumnya.

Seakan kejadian baru saja menampar ingatan, memori itu datang lagi, menyusup keluar seperti diputar oleh proyektor dalam kepala. Padahal selama ini ia yang merawatku dan menjadikan aku anak emas. Anak kesayangan di antara yang lain. Anarki tahu aku akan terluka bila mengetahui kenyataan ini. Ia sudah tahu sejak awal dan enggan memberi tahu. Namun mengapa rasa sakit ini justru makin menjadi-jadi?

KLANDESTIN (Trilogi) (SLOW UPDATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang