(FOLDER 3 - Elegi, Bidak Catur, dan Mantra)

20.4K 2.1K 696
                                    

Pembaca yang baik, saya akan menolak bila disebut sebagai seorang pengamat politik. Kenyataannya saya hanyalah seorang penulis sekaligus fotografer yang senang mengabadikan perjalanan saya menjadi imajinasi dalam tulisan. Tulisan ini lahir berkat kau. Tanpamu, tentu saja saya tidak akan menciptakan rangkaian panjang perjalanan para tokoh di dalamnya.

Saya tidak akan banyak bicara kali ini. Saya tak akan menyapa seperti biasa. Yang ingin saya sampaikan hanyalah satu: bacalah dan ikuti napak tilas saya melalui aksara, itupun bila kau berkenan. Jika tidak suka, tak masalah. Tapi setidaknya, beri saya kesempatan untuk membuatmu jatuh cinta dan tetap tinggal. Karena tanpamu, eksistensi saya tidak akan sempurna. Bagaimanapun, pembaca berperan penting dalam pembentukan eksistensi seorang penulis, kan?

Jika kau masih setia menemani perjalanan saya dari file satu sampai ke file terakhir, maka duduklah. Nikmati kopi atau tehmu. Comot camilan di dekatmu. Dengarkan saya bercerita.

Ini adalah folder terakhir yang akan saya berikan padamu. Folder yang akan mengakhiri perjalanan saya dalam satu kolong dunia semu nan sementara. Saya akan memulai dengan file pertama, file prolog.

-oOo-

PROLOG

Waktu mengejarku dan menuntut agar aku lekas meninggalkan cermin. Namun sampai detik ini, aku masih mematut diri di depan cerpin. Menyetubuhi bayangan yang terpantul dan menampilkan sosok gadis yang memandang sayu. Itu mataku. Aku menambahkan maskara pada bulu mata dan memulas eyeshadow hitam pada kelopak mata.

"Ayo. Udah pada nunggu tuh di depan," suara Mama terdengar. Dari cermin aku melihat ia dalam kebaya resmi melangkah mendekat.

"Iya. Sebentar lagi udah selesai kok," balasku, melemparkan senyum adun.

"Jangan lama-lama loh."

Aku mengangguk. Mama berlalu pergi dari kamarku. Untuk terakhir kali, aku mengamati diriku sendiri sekadar memeriksa apakah ada yang tertinggal. Rambutku yang malam ini kubentuk ikal anggur tergerai di belakang punggung. Menghela napas panjang, aku memejamkan mata selama sepersekian detik. Darah seakan menyembur sampai ke puncak kepala, dipompa dari jantungku yang terasa berdebar. Begitu aku berhasil menenangkan diri dan siap untuk turun, kelopak mataku terkuak. Aku melangkah pasti.

Benar saja kata Mama. Di bawah sudah ramai tamu undangan yang sontak mengarahkan pandangan mata mereka menuju ke arahku sewaktu aku menuruni barisan anak tangga. Gumaman riuh memenuhi ruang tamu yang sudah disulap menjadi tempat pertemuan dua keluarga besar. Suara mereka berdengung di telingaku. Bayangan orang-orang di sekelilingku sedikit mengabur. Tanganku yang berkeringat dingin tahu-tahu sudah berada dalam genggaman seseorang dan didudukkan di salah satu sofa, berhadapan dengan beberapa orang dengan pakaian yang juga resmi.

"Duh... cantik banget sih. Kamu memang pinter milih calon istri," Tante Riani tersenyum mengamatiku.

Aku hanya menanggapinya dengan senyum simpul. Mataku bertubrukan dengan sepasang mata yang tak melepaskan tatapan intensnya sejak tadi. Sempat kutundukkan kepala memerhatikan jari-jemariku yang terkait di atas pangkuan.

Proses pertunangan berjalan cukup lama. Aku nyaris menguap seandainya tak diawasi Mama. Hingga tiba untuk bertukar cincin, aku mulai memasang konsentrasi dan menepiskan sejenak bayangan-bayang di pikiranku yang saling berdesakan. Tanganku diraih dan disentuh Kertabhumi Girinderawardana usai dipasangkan cincin. Kusunggingkan senyum simpul untuknya.

Acara yang berlangsung sangat lama itu pada akhirnya diakhiri dengan obrolan keluargaku dan keluarga besar Bhumi. Aku menjauh dari keramaian, memilih untuk mendekati sebuah meja panjang yang dipenuhi oleh gelas kosong, balok es yang dibentuk Cupid, dan berbagai minuman. Meraih satu gelas yang sudah kutuangkan lime squash.

KLANDESTIN (Trilogi) (SLOW UPDATE)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang