Chapter 7

466 6 1
                                    

Waktu terus bergulir dengan cepat. Tidak terasa sebentar lagi ujian kelulusan akan segera dilaksanakan. Setiap murid tampak sibuk dengan lebaran soal-soal latihan dan buku rangkuman yang menumpuk, mencoba memecahkan soal-soal yang belum mereka pahami.

Begitu pula Janvier dan Alvinia. Sejak ujian semester dilaksanakan, hubungan mereka semakin merenggang terkait dengan keinginan masing-masing untuk bisa meraih nilai yang gemilang. Yah, setiap orang tentunya punya mimpi dan prioritas masing-masing, bukan?

***

Janvier membuka pintu kelas dengan malas. Tas punggung yang digandulnya tampak penuh, dan ia berjalan dengan perlahan.

Semua persiapan ini agaknya memforsir habis-habisan tenaganya. Kelas masih sepi. Dia datang kepagian. Entah mengapa semalam ia tidak bisa tidur nyenyak. Janvier menghampiri kursi tempat ia biasa duduk, lalu meletakkan tas nya diatas meja.

Ia menaruh kepalanya diatas tas itu, kemudian mulai memejamkan mata.

***

Sudah hampir dua minggu terakhir ini Alvinia tidak bertukar pesan dengan Janvier.  Kalaupun bertemu di sekolah, hanya bertukar senyum atau malah tidak sama sekali.

Ia mengerti, Janvier mempunyai ambisi besar untuk masuk universitas negeri. Dan itu memerlukan persiapan yang tidak sebentar.

Jadi yang ia lakukan adalah memberikan Janvier waktu. Untuk belajar, untuk meraih mimpinya.

Alvinia berjalan menyusuri koridor sekolah yang masih tampak lenggang. Masih pukul enam pagi, sekolah masih sepi. Ia juga datang sepagi ini karena kakaknya harus pergi ke Jogja, pesawat pukul tujuh. Alvinia menghembuskan nafas dengan berat.

Ia kangen dengan Janvier. Dengan cara pemuda itu membuat dia tertawa, atau sekedar mengacak rambutnya. Ia rindu tawa Janvier, ia rindu suara berat pemuda itu di telepon.

Langkahnya perlahan namun pasti membawanya ke kelas XII C, kelas Janvier.

Janvier tidak datang sepagi ini, jadi ia berniat untuk menaruh coklat kesukaan Janvier di kolong mejanya. Akhir-akhir ini Janvier tampak letih, dan sepertinya berat badannya cukup menurun.

Setidaknya, coklat itu diharap bisa menghalau rasa letih Janvier.

Dari jendela yang ditengoknya, tampak ada seseorang yang menelungkup memeluk tas, di kursi kedua dari belakang. Postur itu, ia kenal jelas siapa orang itu.

Janvier tertidur disana, menelungkup memeluk tasnya.

Alvinia mendadak kaget, kemudian tersenyum hangat. Segitu lelahnyakah sahabat kecilnya itu?

Ia melangkahkan kakinya memasuki kelas tersebut, lalu berjalan pelan kearah kursi yang diduduki Janvier. Alvinia menarik kursi dari meja yang terletak didepan meja Janvier, kemudian memutar pelan kursi itu sehingga menghadap kearah Janvier. Ia lalu duduk disana, menghadap kearah Janvier yang tampak tertidur dengan tenang.

Alvinia tersenyum melihat wajah Janvier yang dreamy seperti itu. Sudah lama ia tidak memperhatikan Janvier dalam jarak dekat.

Ia kemudian menggoyangkan lengan Janvier pelan.

“Jan, bangun..”

***

Janvier tersentak kaget. Seseorang menggoyangkan lengannya, membuatnya terjaga dari tidur ayamnya.  Ia menggumam tidak jelas, kemudian kembali tersentak saat mengetahui bahwa yang membangunkannya adalah Alvinia.

Alvinia tertawa melihat tingkah Janvier yang tampak seperti anak kecil yang baru saja dibangunkan saat sedang bermimpi indah.

“sekolah itu buat belajar, bukan buat tidur..” Alvinia meledek dengan canda.

Janvier membetulkan letak kacamatanya, kemudian mengusap rambutnya dengan malas. “yah, lagi juga mau ngapain kalo ngga tidur? Sekolah juga masih sepi.”

Alvinia kemudian merogoh tas tentengnya, kemudian mengeluarkan coklat kesukaan Janvier.

“nih, sarapan. Biar ngga kucel mukanya.” Alvinia tersenyum hangat, kemudian mengulurkan coklat tersebut. Janvier tampak tersenyum tipis.

“makasih.”

Alvinia mengangguk samar. Janvier kemudian membuka kemasan coklat itu, kemudian melahapnya.  “nanti pulang, ada acara?” tanyanya sembari mengunyah coklat tersebut.

Alvinia menggeleng, lalu tersenyum lembut. “engga, kenapa?” Janvier mengangguk-angguk paham. “gue traktir makan. Itung-itung perbaikan gizi sebelum Ujian Nasional”

“boleh. Harusnya kamu tuh yang perbaikan gizi, kamu kurusan.” Alvinia mencibir dengan canda. Janvier kemudian tertawa. Alvinia merasa hatinya hangat tiba-tiba. Tawa itu..

Janvier kemudian mengulurkan sebelah tangannya untuk mengacak rambut Alvinia.

“tuh kan kebiasaan! Rambutku nanti jelek tauu bentar lagi masuuuk!” ujar Alvinia, yang kemudian mencubit lengan Janvier. Janvier meringis, namun tak mampu menahan tawanya.

Satu persatu murid kemudian mulai berdatangan. Sekolah mulai terasa sesak dan hidup.

“Jan, aku ke kelas yaa, daah, met belajar..” Alvinia bergegas berdiri, melihat situasinya semakin ramai.

Janvier mengangguk, kemudian ikut berdiri. Ia kemudian mengacak rambut Alvinia lagi. Alvinia manyun, sedikit kesal karena tingkah Janvier itu.

Janvier tertawa kecil. “daah. Nanti gue samperin aja kalo udah pulang.”

Alvinia tersenyum, kemudian memutar balik badan, bersiap pergi. “makasih coklatnya..” Janvier berujar pelan.

Alvinia menoleh, kemudian tersenyum lebar. Ia lalu mengacungkan jempolnya, tanda setuju. Janvier kembali tertawa kecil. Ia kemudian menatap Alvinia yang semakin hilang diantara kerumunan siswa.

Sejak itu, ia tidak bisa menyembunyikan senyum yang kini bermain bebas di wajahnya.

Meskipun Gio datang, lalu meledek tingkahnya ini.

Peduli apa? Batinnya.

Ia tidak sabar menantikan bel pulang berbunyi. Ia ingin segera menghabiskan waktu dengan Alvinia.

Ia ingin membayar rindu yang menumpuk dihatinya.

***

Putih (Karena Kau Begitu Berarti)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang