[ chapter nineteen - malu dan kecewa ]
"Sabar adalah proses menuju kesuksesan"
◀▶
"Bagus, Azka! Saya suka kerja kamu!" puji Pak Irvan setelah permainan antara dua cowok itu usai. Azka dengan senyum merekah mengarah pada Annie. Baginya, semua ini berkat cewek itu. Dia yang membangkitkan rasa mindernya menjadi rasa kepercayaan diri yang tinggi.
Pria itu menepuk bahu Azka senang. Dia berharap kemampuan yang dimiliki oleh anak itu dapat digunakan dalam final nanti.
"Saya suka cara bermain kamu, Azka!"
"Terima kasih, Pak. Tapi ini semua juga karena Annie sih," kata Azka secara langsung memuji gadis itu. Annie tampak meronta pipinya karena Azka.
"Ih, nggak ah. Gue cuma ngebantu aja kok. Lagian, lo emang hebat."
Cowok itu terkekeh. "Masa? Tapi makasih loh, An. Lo yang udah bantu ubah cara pikir gue yang selalu merendahkan diri gue sendiri." Lalu senyum manis itu lagi-lagi muncul. Tulus yang diberikan untuk Annie.
Annie tak dapat menolak senyum itu dan dia membalasnya. Semua orang selalu menganggap Azka adalah sosok yang tidak penting di tengah mereka. Tapi bagi Annie itu semua salah. Azka terbukti sangat membantu tim basket sekolahnya. Yah, walau hanya sebagai pengganti pemain utama yang cidera setidaknya sudah baik. Dan, dari sikap Azka sekarang ini, Annie dapat menangkap bahwa Azka adalah sosok yang baik dan bersahabat. Biarpun terkadang wajahnya selalu terlihat cuek, dingin, dan sinis. Karena itu sisinya yang mungkin memang begitu.
Pak Irvan yang melihat keduanya langsung membuyarkan. "Ekhm, ada yang..." kalimatnya sengaja ia gantungkan. "Saling puji-memuji nih?"
Mereka jadi salah tingkah akibat tatapan yang mereka lakukan satu sama lain.
Kebalikan bagi Alfa. Dia benci melihat dua orang yang tengah tertawa itu. Kenapa dia bisa kalah dalam melawan Azka tadi? Padahal, dia sudah mengatur strateginya. Ah, rasanya ini hal yang paling mengesalkan baginya. Dia terlalu ceroboh membiarkan Azka yang sekarang dipuji oleh dua orang sekaligus. Setelah ini pasti mereka akan mengejek permainannya yang semakin buruk. Membuat Alfa sendiri jadi ingin membalaskan dendamnya.
Ketika hendak pergi setelah mengambil tas dan beberapa barangnya, Pak Irvan yang melihat Alfa langsung memanggilnya untuk mendekat ke mereka.
"Eh, Alfa! Sini!"
Namun, Alfa hanya membuang wajah malas. Dia tidak sudi berdekatan dengan rival nya itu. Ia pun pergi tampa berpamitan.
"Loh? Kok main pergi aja?" tanya Pak Irvan heran.
Azka hanya terdiam memandangi lelaki yang baru saja keluar dari area lapangan itu. Tetapi, Annie paham apa yang sekarang Alfa rasakan. Malu dan kecewa karena tidak dapat memperlihatkan kualitas nya dalam bermain.
"Um, Az. Gue ke sana sebentar ya? Nanti gue balik lagi, kok."
"Ke mana?"
"Situ, bentar doang. Ya?"
Laki-laki itu hanya mengangguk saja. Setelahnya, Annie berjalan cepat untuk mengejar langkah Alfa sebelum tertinggal.
"Alfa!" panggil Annie dan cowok itu kontan berhenti lalu menoleh ke asal suara. Matanya tak percaya kalau Annie memanggilnya.
"Annie?"
Annie segera berlari cepat menghampiri cowok itu tanpa mau membuatnya menunggu.
Alfa agak bingung. Kenapa Annie mau memanggilnya bahkan untuk mendekat? Padahal sebelumnya dia terus menjauh tanpa alasan yang jelas selain sakit hati saja.
Diam. Itu yang Annie lakukan ketika berada di hadapan lawan bicaranya sekarang. Bingung mau memulai dari mana dan bagaiamana. Dia cukup canggung setelah lama tidak sedekat ini dengannya lagi.
"Lo mau ngapain ke sini?" tanya Alfa sinis. "Mau ngejelekkin gue? Oh, atau mau bilang kalau pacar lo itu lebih hebat dari gue? Iya?"
Selalu saja begitu kalau orang lain belum berkata. Menduga-duga bahkan tanpa tahu kebenaran. Itulah Alfa.
"Gue belum juga ngomong."
"Ya terus apa?"
"Di sini gue gak mau basa-basi. Jadi intinya, gue usulin Azka ke Pak Irvan karena gue juga lihat kalau tim kalian butuh banget orang yang bisa ganti posisi pemain kalian yang cidera. Dan, gue tau lo pasti gak suka banget sama kehadiran Azka di tim kalian. Tapi, gue minta sama lo, Fa. Ingat, tim kalian bakal bertanding di final beberapa hari lagi, melawan tim lain. Permintaan gue cuma satu. Lo dan Azka bukan lawan di dalam tim, tapi kawan. Dan, gue cuma minta kerja sama kalian aja. Itu doang," jelasnya panjang lebar.
"Udah, itu aja?" Ucapannya tetap saja sinis. Namun, bukan yang sebenarnya. Hanya saja dia sedang malu berhadapan dengan Annie saat ini.
"Ya," balas Annie singkat. "Kalau gitu, gue pergi dulu."
Belum sepenuhnya berbalik, sebuah tangan menahannya.
"An, lo beneran pacaran sama Azka?"
Sontak Annie tak bisa menjawab. Ini hal aneh yang ia dengar seperti sebelumnya. Di mana Alfa sempat mengatakan juga kalau Azka pacarnya. Tapi tidak dijelaskan olehnya.
Annie kembali menatap iris laki-laki itu dan tak lupa melepas tangan Alfa darinya. "Gue gak harus 'kan jawab pertanyaan lo itu?"
Seperti ditusuk ribuan jarum. Annie sama sekali tidak berniat menjawabnya. "Jadi--"
"Bye!"
Dan tinggalah ia sendiri di sana. Sakit hati layaknya Annie yang pernah ia tinggalkan. Mungkin ini yang harusnya ia pelajari. Bagaimana ketika orang patah hati dan berubah menjadi sakit hati untuk dimengerti.
Dari mulut Annie, ia belum mengatakan secara langsung hubungannya dengan Azka.
"Gue gak bakal nyerah untuk dapatin hati lo lagi, An," gumamnya.
"Gue gak akan ngebiarin hati yang lain untuk nempatin hati lo."
"Karena gue pemiliknya."
◀▶
a/n
Sori kalau gaje dan banyak typo!!!
Semoga suka!!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Best Boyfriend (SUDAH TERBIT)
Fiksi Remaja[BOOK 1] PART MASIH LENGKAP - Kepergian Alfa meninggalkan luka bagi Annie yang tak pernah menyangka kata perpisahan yang terucap dari bibir Alfa lewat panggilan malam itu. Setelahnya, ia tak dapat menemui Alfa lagi. Hingga akhirnya cowok itu kembali...