B&L - 14

253 11 0
                                    


Senin yang begitu cerah, namun tidak dengan hati Varel. Ia belum bisa mengenyahkan kejadian kemarin dari pikirannya. Teganya Zelin mempermainkan perasaannya tanpa merasa bersalah sedikitpun. Bahkan saat ini Zelin bersama teman-temannya itu tengah membicarakan Angga, yang ternyata adalah tunangan Zelin. Namun Varel tak terlalu memikirkan itu, ia sudah tak peduli lagi dengan Zelin, terserah Zelin mau berbuat apa, ia sungguh sangat muak dengan Zelin.

Yang ada dipikiran Varel saat ini adalah Alina, ia sangat merasa bersalah pada Alina, ia ingin meminta maaf pada Alina atas perbuatannya yang begitu buruk. Namun hari ini Alina tidak masuk sekolah. Ada apa dengan Alina? Apa dia baik-baik saja? Entahlah, Varel begitu khawatir dengan keadaan Alina saat ini.

'TEET TEET'

Bunyi bel tanda istirahat telah berdering, membuat Varel tersadar dari lamunannya. Sepanjang pelajaran tadi, ia sama sekali tak memperhatikan penjelasan guru, bahkan buku tulisnya masih bersih berbanding terbalik dengan kondisi papan tulis yang terpasang di depan kelasnya, penuh dengan rumus-rumus yang tidak ia mengerti. Hanya Alina, Alina dan Alina yang ada difikirannya sejak tadi.

Varel membalikkan badannya ke belakang, mendapati Ira yang sedang membereskan alat tulisnya.

"Ra." Panggil Varel.

"Apa?" Sahut Ira dengan ketus. Mengingat bagaiman Alina kemarin yang begitu tersakiti membuat dirinya tak bisa berbaik-baik pada Varel.

"Lo tau Alina? Kenapa hari ini dia gak masuk?" Tanya Varel penuh harap, berharap Ira tau alasan Alina tak masuk sekolah hari ini.

"Kok lo nanya gue sih? Lo kan sahabatnya, yang paling dekat dengan dia, harusnya tau dong kenapa dia gak masuk hari ini?" Ucap Ira dengan sedikit sinis.

"Gue emang sahabatnya, tapi kali ini gue beneran gak tau."

"Masih ngakuin kalo dia sahabat lo?"

"Maksud lo apa sih Ra? Susah amat tinggal kasih tau aja, Alina kemana?"

"Gue gak tau." Jawab Ira singkat sambil melenggang keluar kelas, diikuti oleh Revi di sampingnya.

"Ira ish!" Desis Varel. "Nyebelin lo! Lagian kemana sih Alina? Bikin gue gak tenang aja."

* * *

Varel duduk termenung di bangkunya. Memikirkan Alina yang sudah beberapa hari ini tidak masuk sekolah, entah kemana dia karena setiap Varel ke rumahnya Alina tidak ada di rumah, rumah Alina tampak seperti tak berpenghuni.

Terdengar derap langkah kaki yang semakin mendekat ke arah kelasnya. Varel mengangkat kepalanya, menatap penuh harap ke arah pintu kelasnya, berharap jika yang datang adalah Alina. Derap langkah semakin keras, dan nampaklah Alina yang datang bersama dengan Ira dan Revi.

Varel tersenyum lega, akhirnya ia bisa melihat Alina lagi. Namun seketika senyum itu luntur, Alina memalingkan muka saat bertemu pandang dengan dirinya. Alina berjalan melewati bangkunya dan dia duduk di bangku Revi.

"Rev, gue duduk di bangku lo ya, lo gak papa kan duduk sama dia?" Pinta Alina, dan Revi pun menganggukkan kepala, mengiyakan.

Sakit, itulah yang dirasakan Varel saat ini. Alina berubah, Alina sangat membenci dirinya, bahkan Alina sudah tak mau lagi sebangku dengan dirinya. Varel membalikkan badannya menghadap Alina yang sedang sibuk memainkan ponselnya.

"Alin." Panggil Varel, ia ingin meminta maaf pada Alina dan menyelesaikan masalah mereka tersebut.

Alina diam tak menanggapi sambil terus terfokus pada ponselnya.

"Please Lin, gue mau ngomong sama lo."

Alina menyimpan ponselnya, lalu mengangkat kepalanya menatap Varel. "Gak ada yang perlu diomongin lagi. Waktu itu lo sendiri yang bilang gak mau berteman lagi sama gue, yaudah sekarang gue turutin mau lo." Ucapnya datar.

"Lin, gue-"

"Shut!! Gue gak mau denger lo bicara lagi." Alina bangkit dari duduknya dan melangkahkan kakinya keluar kelas, meninggalkan Varel yang menatapnya sayu.

"Alina." Lirih Varel.

"Udahlah Rel, gak usah pasang tampang sok melas kayak gitu." Sinis Ira.

Varel menolehkan kepalanya, mengernyit memandang Ira.

"Apa?" Sentak Ira, dan Verel hanya diam saja. "Denger ya Rel! Sikap lo waktu itu udah sangat keterlaluan, jadi jangan harap Alina bisa maafin lo dengan mudah. Ah, gue gak yakin kalau Alina mau maafin lo. Dia kan benci sama lo, tadi aja dia udah kayak gitu."

Varel diam. Benar kata Ira, sikapnya kepada Alina sungguh sangat keterlaluan bahkan sangat tidak termaafkan. Dan apakah benar jika Alina tidak akan memaafkannya? Sungguh, sekarang ia sangat menyesali perbuatannya itu.

"Kenapa diam aja? Nyesel lo? Udahlah, penyesalan lo gak ada gunanya."

* * *

Malamnya, Varel mendatangi rumah Alina. Berharap kali ini Alina sedang berada di rumah, karena seperti yang Varel ketahui, beberapa hari ini memang Alina menyembunyikan dirinya. Tidak masuk sekolah, dan dirumahnya pun tidak ada. Dan berhubung tadi pagi Alina sudah kembali masuk sekolah, jadi ia berfikir jika Alina pasti sudah kembali ke rumahnya juga.

'Tok tok tok.'

Bunyi pintu yang diketok oleh Varel, membuat sang empunya rumah mau tak mau harus membukakan pintu.

'Ceklek.'

Pintu terbuka, seketika Varel tercengang begitu mengetahui siapa yang membuka pintu tersebut. 'Fandy? Kenapa dia ada disini? Sedekat apa dia dengan Alina, kenapa bisa malam-malam begini ada di rumah Alina?'

"Rel? Hello?" Fandy mengoyang-goyangkan tangannya di depan Varel yang bengong manatap dirinya.

Seketika itu juga Varel tersadar. "Eh, kok lo ada disini?"

"Ya gue tinggal disini." Jawab Fandy santai.

"APA? Lo Alina lo kenapa bisa?" Tanya Varel tak beraturan. Ia sangat terkejut mengetahui kalau Fandy tinggal di rumah Alina. 'Bagaimana bisa Fandy tinggal disini? Apa tante Sarah mengijinkannya?'

"Ah. Lo pasti mikir yang enggak-enggak kan? Asal lo tau ya, gue itu sebenarnya sepupunya Alina. Dan kenapa gue bisa disini? Ya karena tante Sarah titipin Alina sama gue selama dia pergi." Jelas Fandy panjang lebar. Ia tak ingin terus-terusan membuat Varel salah paham mengenai hubungannya dengan Alina.

Sementara itu, Varel bernafas lega. Ternyata dugaannya selama ini salah. Alina dan Fandy bukanlah sepasang kekasih, melainkan saudara sepupu.

"Siapa sih Fan? Lama banget." Ucap Alina yang baru muncul dari ruang tengah. Seketika tubuh Alina menegang tatkala melihat Varel yang berdiri di ambang pintu rumahnya. 'Kenapa Varel ada disini? Mau apa dia?'

Buru-buru Varel mendekati Alina, ia menggenggam kedua tangan Alina yang tergantung bebas disisi tubuhnya. Mencegah agar Alina tak menghindar lagi darinya.

"Lepas Rel!" Ucap Alina memberontak.

"Alin, please dengerin aku! Aku minta maaf kalo selama ini aku udah nyakitin kamu. Aku nyesel banget gak mau dengerin perkataan kamu. Jangan jauhi aku lagi, aku mau kita berteman lagi." Varel memohon sambil berlutut di depan Alina. Sungguh, ia rela melakukan apa saja untuk menebus kesalahannya pada Alina, agar mendapatkan maaf dari Alina.

"Lo pikir semudah itu gue bisa maafin lo! Enggak Rel, lo udah keterlaluan sama gue. Lo jahat!" Maki Alina kepada Varel.

"Gue tau itu, gu-"

"GUE BENCI LO!" Alina menyentakkan tangan Varel dengan kasar, membuat Varel yang tak siap apa-apa itu terjengkang. Lalu Alina berlari ke kamarnya, meninggalkan Varel dengan tatapan sendunya.

Fandy yang melihat itu pun merasa kasihan pada Varel. Ia pun menghampiri Varel yang terduduk lesu di lantai.

"Gue ngerti perasaan lo Rel, lo hanya perlu bersabar. Alina hanya butuh waktu buat ngilangin rasa kecewanya dia sama lo. Percaya sama gue, dia sangat menyayangi lo." Ucap Fandy dengan menepuk-nepuk bahu Varel.

Dulu memang Fandy pernah menyuruh Alina untuk melupakan perasaannya pada Varel. Namun kini setelah ia melihat ketulusan dan bagaimana uring-uringannya Varel saat Alina menjauhinya ia jadi mengerti, sebenarnya Varel begitu menyayangi Alina.

* * *

13 Mei 2018

Bestfriend & Love | √Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang