Pertemuan Kedua

146 12 14
                                    

     Kebanyakan orang benci dengan yang namanya sepi. Kesepian dan kesunyian itu membuat hati menjadi kosong. Seakan hidup ini hanyalah kegelapan. Seakan hidup ini hanya seorang diri dan tak ada satupun yang peduli.

     Namun berbeda dengan gadis satu ini. Jika ia boleh memilih, ia lebih baik terlahir sebagai orang yang sebatang kara. Ia penat dengan segala perkara kehidupan orang lain yang tak ada habisnya. Ia benci dengan kedua orangtuanya yang tak bisa menghadirkan kedamaian di dalam rumah. Setiap hari selalu saja pertengakaran yang didasari hal sepele.
   
Alasan yang sering mendasari semuanya adalah uang. Terkadang ia berfikir, betapa bodohnya jika hubungan keluarga hancur hanya karena kekurangan uang. Seorang istri yang meninggalkan suaminya karena miskin, seorang anak yang membenci ayahnya karena miskin, seseorang yang enggan bergaul dengan orang miskin, dan masih banyak lagi.

Namun mereka tidak menyadari bahwa mereka berasal dari keluarga miskin, atau sewaktu-waktu Tuhan bisa saja mengambil harta mereka sehingga mereka jatuh miskin. Karena sejatinya semua manusia itu miskin. Saat mereka lahir mereka tidak membawa apapun kecuali raga mereka yang juga masih bukan mereka yang sepenuhnya memiliki, karena Tuhanlah yang memiliki. Dan saat kita mati tak ada secuil harta pun yang dibawa melainkan sehelai kain kafan. Maka apalah yang bisa manusia sombongkan?

Sahara termenung di sebuah kursi taman yang terletak dihadapan masjid. Masih pukul 6 pagi. Ia hanya mengenakan sebuah jaket biru tipis dan menggerai rambut lurus sebahunya.

Suasana di sini lebih tenang dibandingkan suasana rumahnya yang keruh dengan pertengkaran kedua orangtuanya yang tak kunjung usai. Alasannya tentu saja karena uang. Ayahnya yang pulang tanpa uang selalu terkena cacian dari ibunya. Ketika ibunya marah, ia bisa melemparkan perabotan rumah tangga.

Sahara yang sebelumnya tenang menikmati segarnya udara pagi di halaman rumahnya mendadak kesal oleh kelakuan kedua orangtuanya. Ia lebih nyaman duduk di tempat ini saja.

Dari dalam masjid terlihat beberapa jemaah laki-laki yang baru selesai mendengarkan khutbah setelah shalat subuh. Mereka keluar bersamaan. Diantaranya ada beberapa remaja, dan salah satunya adalah Zidan.

Ketika Zidan berjalan bersama temannnya yang mengarah ke jalan kecil di samping taman ia sempat bertemu pandang dengan Sahara.

Sahara sendiri langsung membuang muka dengan wajah dinginnya.

Ada alasan mengapa ia merasa kesal pada pria itu. Padahal ia sendiri tidak mengenalnya. Mereka hanyalah teman satu angkatan di SMAnya yang hanya tahu nama saja dan tidak saling mengenal. Sahara sendiri merasa aneh dengan kepribadian pria satu ini.

Di sekolah, Zidan adalah seorang ketua OSIS. Dia memang seorang ketua yang tegas dan bijaksana. Namun ada sifat yang tidak Sahara suka darinya. Disekolah ia adalah seorang lelaki yang dekat dengan banyak gadis. Setiap hari selalu saja ada para gadis yang mengerumuninya.

Memang dia adalah lelaki yang tampan. Wajah putih dan blesteran turki itu menjadi daya tariknya. Di tambah lagi tubuh jangkungnya yang membuatnya terlihat sangat gagah. Mana ada gadis yang tidak mengaguminya kecuali gadis aneh yang bernama Sahara?

Hal ini jelas membuat Sahara bingung. Sifatnya yang religius di lingkungan rumah, jelas bertolak belakang dengan sifatnya di sekolah.

Sahara sendiri baru tahu ketika setelah sebulan ia tinggal di perumahan ini dan pertama kali bertemu dengan Zidan di lingkungan rumah saat selesai shalat tarawih tadi malam. Lelaki tampan itu tak sedikitpun membuat hatinya merasa kagum. Ia justru berfikir lelaki itu munafik.

Mungkin ia ingin mencari simpati kepada para tetangga dan orangtuanya. Padahal mereka tak tahu bagaimana kelakuan pria itu di sekolah. Itulah anggapan Sahara ketika bertemu Zidan di lingkungan rumah untuk kedua kalinya.

Sahara bangkit berdiri dari tempat duduknya. Pikirannya mengenai Zidan teralih oleh beberapa bunga yang tumbuh di taman masjid itu.

Bunga mawar merah yang layu membuatnya prihatin. Ada juga beberapa tanaman yang daunnya menguning. Sahara dengan hati-hati mencabuti daun kuning itu dan membuangnya ke tempat sampah.

Sedangkan untuk mawar merah yang layu itu ia memutuskan untuk mengambil sebotol air di kamar mandi masjid dan menyiramnya. Ia merawat tumbuh-tumbuhan itu dengan lihai. Rasanya ia juga ingin menanam bunga di halaman rumahnya. Namun ia belum punya uang untuk membeli bibit dan juga vas bunganya. Mungkin suatu hari nanti keinginannya itu akan terlaksana.

Sahara sangat fokus terhadap apa yang ia lakukan sehingga tanpa ia sadari ada seseorang yang tengah duduk di kursi taman.

"Hmmmm!"

Suara yang agak berat itu membuatnya sadar dan mengalihkan pandangannya ke sumber suara.

Lelaki blesteran turki itu tengah tersenyum sambil menenteng kresek hitam kecil di tangan kanannya. Kemudian ia berjalan menghampiri Sahara.

"Ini sandalmu. Aku menemukannya di balik menara masjid." ucapnya sambil menyodorkan kresek hitam itu.

Sahara berdiri dan mengambilnya dengan rasa acuh tak acuh.

"Terima kasih." balasnya singkat kemudian kembali menyirami bunga.

Zidan masih berdiri terpaku di samping Sahara yang sibuk dengan kegiatan berkebunnya. Sahara sedikit merasa gusar dengan kehadiran Zidan.

"Kau tak perlu susah payah mengurus tanaman-tanaman ini. Sudah ada pihak masjid yang mengurusnya." info Zidan.

"Tidak masalah. Aku menyukainya." jawab Sahara singkat.

Zidan masih terpaku di tempatnya.

"Sahara, aku baru melihatmu di lingkungan ini. Apa kau warga baru?" tanya Zidan.
"Ya. Aku baru tinggal di sini satu bulan."jawabnya tanpa melirik Zidan.

"Ohh.. Apa kau senang mengikuti kegiatan keagamaan?"

"Aku jarang memiliki kesempatan."

"Bagaimana dengan bulan Ramadhan ini? Di masjid akan ada kegiatan pesantren kilat. Kami punya komunitas khusus para remaja yang aktif dengan kegiatan masjid. Lima hari lagi pesantren kilat akan dilaksanakan dan kami akan menjadi pembimbing anak-anak. Apa kau ingin bergabung?"

Sahara bangkit berdiri. Ia menatap Zidan dengan senyum tipis.

"Apa kegiatan keagamaan yang banyak kau ikuti tidak juga menyadarkanmu?"

Pertanyaan tidak terduga itu membuat Zidan tertegun dan bingung. Apa sebenarnya yang dimaksud gadis ini?
"Maksudmu?"

"Baiklah. Aku akan memikirkannya nanti. Aku akan kabarkan padamu jika aku ingin bergabung."jawab Sahara sambil kemudian berlalu dari hadapan Zidan. Sedangkan Zidan masih terpaku memikirkan satu per satu maksud perkataan Sahara.

The Best SecondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang