Bercerita

87 9 13
                                    

"Bagaimana menurutmu? Rasanya aku ingin mati saja."

    Pernyataan temannya itu membuat Sahara terkejut bukan main. Kemudian ia mengontrol emosinya dan berusaha bersikap tenang dan santai.

"Kalau aku justru ingin orangtuaku bercerai saja dan tinggal di tempat lain."jawab Sahara santai sambil menyeruput teh manis hangatnya.

" Aku menemuimu karena ingin meminta saran. Tapi kau malah membuatku bingung." protes gadis berambut panjang itu.

"Kedua orangtuamu sama-sama salah. Ibumu bukannya menjadi istri yang baik dan melayani suaminya, melainkan menghabiskan waktunya untuk bekerja. Jika ingin menjadi wanita karir, dia seharusnya bisa membagi waktu dengan sangat baik. Namun jika tidak, dia harus tinggalkan salah satunya."

"Tapi ayahku juga salah. Apakah selingkuh adalah jalan keluar dari semua masalah ini?"
"Ya itu artinya mereka tidak saling memperdulikan lagi. Bercerai adalah jalan yang terbaik."

"Lalu bagaimana denganku?"

"Jika mereka memperdulikanmu seharusnya mereka merasa berat melakukan itu."

    Gadis berambut panjang itu terdiam, enggan melontarkan kata-kata lagi. Sedangkan Sahara kembali sibuk menyantap makanan buka puasanya. Ia melirik gadis dihadapannya yang diam tanpa kata.

"Winda, menurutku cobalah membujuk mereka untuk mempertimbangkanmu. Bicaralah dengan tenang. Jangan bertindak nekat. Ku rasa mereka masih punya hati nurani yang mencintai anaknya."

    Gadis berambut panjang bernama Winda itu mengangguk samar. Kemudian perlahan ia melahap makanan yang terpampang dihadapannya.

Ia tidak menikmatinya dengan sempurna. Pikirannya melayang pada permasalahan keluarganya. Ia mencoba memikirkan apa yang harus ia katakan kepada orangtuanya. Ia harus menemukan kata-kata yang membuat kedua orangtuanya luluh. Ia harus bisa mengutarakan betapa hancur hidupnya jika mereka bercerai. Bagaimanapun juga ia harus bisa. Keutuhan keluarganya sedang diujung tanduk saat ini.

"Win, apa kau masih bersama si bodoh itu?"tanya Sahara membuka pembicaraan.

" Si bodoh?" tanya Winda bingung.
"Si Dindra yang suka memerasmu itu." jawab Sahara santai.

Winda terkekeh geli mendengar jawaban temannya itu.

"Tidak. Aku baru sadar bahwa aku dimanfaatkan. Aku rasa akulah si bodoh itu." ucapnya merendah.
"Akhirnya kau sadar juga."

    Sahara kemudian melirik jam dinding yang terpasang di tembok restoran.

"Sudah pukul setengah tujuh. Ku rasa aku harus pulang sekarang." info Sahara sambil kemudian menyeruput habis teh hangat di gelasnya.

"Buru-buru sekali, apa kau ada acara lain?"
"Aku baru menemukan kegiatan yang memecah kebosanan."
"Apa itu? Bawalah aku bersamamu!"pinta Winda antusias.

" Shalat tarawih."

Winda tertegun sejenak kemudian ia tertawa dengan rasa tidak percaya.

"Shalat tarawih? Sejak kapan kau sereligius ini? Jangan membohongiku." ejeknya kemudian kembali tertawa.

"Aku serius. Dari pada aku harus mendengarkan omelan ibuku yang tak kunjung usai, lebih baik aku shalat tarawih."

"Sungguh tidak bisa dipercaya."

"Terserahlah. Jadi kau masih ingin ikut?" tanya Sahara menggoda.

"Tidak. Aku sudah kelelahan setengah mati berpuasa sepanjang hari, dan sekarang harus berdiri lama pula? Apalagi jika imamnya membaca surat yang panjang, ahh.. aku ngeri membayangkannya."ungkapnya sambil bergidik ngeri.

" Sudah kuduga. Kau sangat anti dengan hal begituan. Baiklah, ayo kita pulang."

    Mereka kemudian berjalan meninggalkan restoran Thailand itu. Hingga kegelapan malam pun mampu menyamarkan raga dan jejak kaki mereka.

The Best SecondTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang