Namanya Bae Jinyoung. Laki-laki berumur 17 tahun yang tinggal di depan rumahku. Jinyoung adalah temanku sejak kecil. Ralat. Teman masa kecilku.Kenapa kukatakan begitu? Karena di umurku yang sudah menginjak 16 tahun ini, aku tak lagi dapat berbicara senormal sepuluh tahun yang lalu dengannya.
Ini bukan kisah klise di mana sepasang teman sejak kecil saling menyukai dan hidup bahagia pada akhirnya. Ini bukan kisah dimana seorang gadis cantik dan pintar disukai oleh teman sejak kecilnya yang tampan dan sangat populer di sekolahnya. Dan ini juga bukan kisah tentang persahabatan sepasang insan yang terjalin erat sejak kecil.
Ini kisahku. Dimana aku menyukai teman masa kecilku sendirian. Aku bukan gadis cantik yang sering dijadikan tokoh utama dalam film atau drama, aku tidak secantik itu. Dan aku tidak begitu pintar. Tapi poin ' teman masa kecil yang tampan dan sangat populer ' itu, mungkin bisa kumasukkan ke dalam kisahku.
Aku benar-benar dekat dengan Jinyoung sebelum tamat dari sekolah dasar. Aku dan Jinyoung bagaikan kertas dan prangko. Dia selalu membawaku kemana-mana. Menunjukkan banyak hal hebat dan bermain dengan banyak teman lainnya.
Setiap pulang sekolah dulu, aku selalu pulang kerumahnya. Alasannya sederhana. Karena kedua orang tuaku masih berada di kantor masing-masing saat aku pulang dari sekolah.
Ayahku adalah seorang pengacara. Ia pergi ke kantornya sebelum aku bangun di pagi hari dan pulang setelah aku tidur di malam hari. Sedangkan Ibuku bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan tekstil. Ia juga berangkat pagi, tapi tak sepagi ayah. Dan pulang tepat di saat matahari tenggelam.
Berbeda dengan kedua orang tua Jinyoung. Ayahnya seorang dosen di sebuah universitas. Sedangkan ibunya bekerja di rumah. Bukan berarti ibunya seorang ibu rumah tangga. Ia bekerja sebagai perancang busana yang tidak mengharuskannya pergi ke kantor setiap hari.
Itu semua membuatku lebih sering berada di rumah Jinyoung daripada duduk manis di rumahku sendiri. Lagipula tak ada yang bisa kukerjakan di rumah jika ditinggal sendiri seperti itu. Aku anak tunggal. Tidak ada kakak atau adik. Rumahku benar-benar sepi.
"Ayo pulang. " sebuah tangan menepuk bahuku lembut. Aku menggeleng kuat tanpa berniat menghapus jejak air dari mataku. Pemilik tangan itu menghela panjang napasnya sebelum membawaku kedalam pelukannya.
Yang tentu saja tak sehangat pelukan Jinyoung seminggu yang lalu.
"Berhentilah menangis. Jinyoung bisa ikut sedih melihatmu dari atas sana. " suara khas miliknya hampir saja tertelan oleh suara desiran angin yang berhembus cukup kencang. Aku tetap menggeleng. Membenamkan kepalaku pada bahunya.
"Kumohon berhentilah menangis, Seol-ah. " itu adalah kalimat terakhir yang kudengar dari Jihoon──yang sedang memelukku──sebelum aku tak sadarkan diri karena terlalu banyak menangis. Aku benar-benar menghabiskan tenagaku.
•
Ya. Namaku Seol. Jinyoung yang membuatku dipanggil seperti itu. Hanya teman-temanku saat kecil dulu yang memanggilku begitu. Nama lengkapku adalah Nam Eunseol.
Kurasa aku sudah bisa mulai menceritakan kisah penantian paling sia-sia ini.
•
Don't forget to vomment ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] the first snow • bae jinyoung
Fanfictionmy heart bruised, something fall on my hand; is it tears or is it because of the first snow? ©misseubyun, 2017