"Jadi kau berlari kemari karena ayah dan ibumu pulang? "Pertanyaan itu membuatku mengangguk sebagai jawaban. Jinyoung dan aku saat itu duduk di depan minimarket setelah selesai dengan urusan tangis-menangisi yang sangat memalukan. Jika kalian bertanya kenapa, jawabannya adalah karena Jinyoung memelukku tepat di depan pintu masuk minimarket.
Aku bahkan tidak sadar telah berlari sejauh itu.
"Sudahlah jangan menangis lagi. Matamu sudah bengkak asal kau tau. " dengan suara baritonnya, Jinyoung berujar pelan seraya menggerakkan tangannya untuk menepuk kepalaku beberapa kali.
Bukannya berhenti menangis sentuhan itu malah membuatku semakin menundukkan kepalaku. Aku tidak tau kenapa sore itu semuanya terasa sangat menyakitkan. Bahkan untuk melihat wajah Jinyoung sekali pun.
"Kau mau kupeluk lagi? " tanya Jinyoung. Kali ini nada bicaranya terdengar bercanda. Tapi tetap saja kalimat itu membuat jantungku kembali berontak untuk yang kesekian kalinya.
"Aish yang benar saja. Ini tempat umum tau. " omelku kesal. Kudengar Jinyoung tertawa geli setelahnya.
"Baejin-ah, apa kau merasa baik-baik saja tanpa kemoterapi? "
"Kemoterapi? " sebelum Jinyoung sempat menjawab pertanyaanku, ibunya yang menjadi alasannya untuk pergi ke minimarket sore itu berjalan mendekat dengan dahi yang mengerut sempurna.
Aku menatap Jinyoung takut-takut, aku benar-benar tidak menyangka ibunya akan keluar dari minimarket di saat yang bersamaan dengan pertanyaanku.
"Ah ibu, sudah selesai belanja? " Jinyoung bangkit dari duduknya, begitu juga denganku. Sedangkan ibunya masih memasang ekspresi meminta penjelasan.
"Kalau sudah selesai sebaiknya kita langsung pula──"
Baru saja Jinyoung hendak melangkah mendahului ibunya dan aku, lengannya lebih dulu ditahan oleh ibunya. Kulihat Jinyoung menghela panjang napasnya sebelum menoleh kebelakang.
"Kau sakit apa? Kenapa tidak pernah membertahuku? "
"Ibu bicara apa? Aku sehat-sehat saja. " dan entah bagaimana, jawaban itu menusuk dadaku. Aku menggigit bibir bawahku kuat, menahan air mata yang bisa meleleh kapan saja. Aku benar-benar tidak habis pikir dengan Jinyoung yang terus saja berbohong pada banyak orang. Padahal jelas-jelas suhu badannya sangat panas ketika ia memelukku beberapa saat sebelumnya.
Mau tak mau ibu Jinyoung melepas pegangannya pada lengan anak bungsunya itu. Ia menghela napas pasrah, lalu menepuk punggung anaknya itu beberapa kali sebelum mengajaknya pulang. Namun siapa sangka penyakit Jinyoung kambuh di saat yang tidak tepat seperti itu? Jinyoung terjatuh akibat tidak dapat menahan rasa sakit luar biasa yang menyerang kepalanya.
Napasku seketika tercekat. Mendadak kalimat-kalimat yang kubaca dalam buku yang kupinjam dari perpustakaan menari-nari di pikiranku. Kebetulan sekali Jihoon, Woojin dan Daehwi melintas di depan minimarket sebelum aku bergerak untuk mencari bantuan. Buru-buru Daehwi memeluk ibu Jinyoung dan menenangkannya. Sementara Woojin mulai sibuk memencet beberapa angka untuk menghubungi Joohyun.
"Kau benar, leukimia stadium tiga itu tidak bisa disepelekan. " aku menoleh pada Jihoon yang memang sedang tidak melakukan apapun. Matanya yang menatap kosong ke arah Jinyoung yang tak sadarkan diri semakin membuat hatiku mencelos.
Tak lama, Joohyun datang dengan mobilnya. Dengan cepat Woojin dan Jihoon mengangkat Jinyoung untuk masuk ke dalam mobil. Beruntung mobil yang Joohyun bawa dapat memuat banyak orang di dalamnya. Jadi aku dan yang lain tidak perlu khawatir untuk mencari tumpangan.
Mengingat sesuatu, aku mengambil handphone dari dalam saku seragamku dan menelepon bibi Jihyun. Aku meminta izin padanya untuk pulang agak malam hari itu. Setelahnya, aku mencoba untuk menghibur ibu Jinyoung yang masih panik atas apa yang baru saja terjadi. Joohyun yang tak kalah panik terus berusaha mempercepat laju mobilnya agar sampai lebih cepat di rumah sakit.
Langit yang semula berwarna jingga sepenuhnya menggelap ketika Jinyoung telah diserahkan pada dokter di unit gawat darurat di salah satu rumah sakit terdekat. Aku menghela napasku panjang saat dokter dan asistennya mengukur jumlah hb Jinyoung. Tentu saja hasilnya akan sangat rendah.
"Eum, maaf apakah anda keluarga dari Bae Jinyoung? "
"Ya, saya sendri. " sahut ibu Jinyoung yang sudah terlihat sedikit lebih tenang.
Aku tidak tau apa yang dokter itu katakan selanjutnya. Yang kutau, ibu Jinyoung kembali menangis saat beberapa suster membawa tempat tidur Jinyoung ke salah satu ruang rawat. Joohyun, Jihoon, Woojin dan Daehwi ikut menyusul ke ruang rawat tersebut. Sedangkan aku yang sudah menjauh untuk menerima panggilan telepon sejak dokter itu berbicara banyak pada ibu Jinyoung hanya dapat mengepalkan tangan dan berdoa agar Jinyoung baik-baik saja.
Lagi-lagi aku menghela napasku sebelum menekan tombol hijau untuk menjawab panggilan telepon dari teman sekelasku, Guanlin.
"Eoh, Guanlin-ah. Ada apa? "
"Aku hanya ingin bertanya padamu tentang apa saja yang akan kau bawa untuk besok. " jawaban Guanlin membuatku mengerutkan dahi. Otakku benar-benar lelah untuk sekedar berpikir apa yang Guanlin maksud dengan ' besok ' itu.
"Besok? Memangnya ada apa? "
"Heol, jangan bilang kau lupa. "
"Eung yah. Sepertinya begitu. "
"Besok kita akan mengadakan study tour ke Busan selama dua hari. Kita harus berkumpul di sekolah pukul delapan pagi, jangan sampai terlambat. "
"Besok? Study tour? "
•Don't forget to vomment ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] the first snow • bae jinyoung
Fanfictionmy heart bruised, something fall on my hand; is it tears or is it because of the first snow? ©misseubyun, 2017