17

1.5K 224 7
                                    


Aku sedang mematut diriku di depan cermin ketika bibi Jihyun memanggilku untuk bersegera. Buru-buru aku meraih tas sandang kecil di atas kasurku dan keluar dari kamar untuk menemui bibi Jihyun di ruang tengah.

Bibi Jihyun tersenyum pahit begitu melihat wajahku yang sangat sembab. Ia mengusap pipiku, menghapus jejak air mata yang mengering disana.

"Gwenchana, ini lebih baik daripada Jinyoung harus merasakan sakit itu lebih lama lagi. " ujar bibi Jihyun lembut. Aku mengangguk, membenarkan.

"Jihoon dan yang lain pasti akan khawatir melihatmu seperti ini. " lagi-lagi aku mengangguk. Bibi Jihyun kemudian tersenyum untuk menenangkanku sebelum mengajakku keluar.

Hari ini adalah hari di mana Jinyoung kembali disatukan dengan tanah. Karena itu aku tidak dapat tidur nyenyak semalaman, aku masih tidak percaya Jinyoung akan pergi secepat ini.

Matahari terlihat enggan untuk menampakkan diri. Langit terus menjatuhkan kristal-kristal salju. Tidak lebat, namun cukup banyak. Aku menundukkan kepalaku, menahan tangis. Lihatlah bagaimana semesta ikut bersedih hari ini.

"Hei. " aku tersentak. Sebuah tangan tiba-tiba menggandeng lenganku. Itu membuatku tidak bisa menggerakkan tanganku untuk mengusap wajahku yang begitu sembab.

"Ah, Daehwi-ya. " sapaku pelan, diikuti sebuah senyuman yang mungkin saja terkesan sangat dipaksa. Daehwi membalas senyumku, tak kalah pahit seperti yang bibi Jihyun lakukan sebelumnya.

"Kau menangis semalaman, ya? " pertanyaan Daehwi membuatku kembali menundukkan kepala. Aku tidak dapat berbohong di saat seperti ini. Mataku yang bengkak sudah cukup untuk menjelaskan semuanya.

"Kau benar-benar menangis semalaman? " suara lain terdengar dari arah kiri. Aku menoleh dan mendapati Woojin yang berdiri tak jauh dari tempatku.

"Astaga lihatlah matamu itu. " Woojin menepuk kedua mataku pelan. Jujur saja rasanya sangat perih begitu tangan Woojin menyentuh mataku.

"Hei hei, kalian mau meninggalkanku──astaga Nam Eunseol apa yang kau lakukan dengan matamu? " eksistensi Jihoon membuatku tak dapat menahan diri lagi. Tak butuh waktu lama, air mataku kembali meloloskan diri.

Dapat kudengar helaan napas panjang dari ketiga temanku itu. Kemudian dapat kurasakan tangan Jihoon yang menepuk bahuku beberapa kali.

"Kajja, kita harus pergi untuk melepaskan Baejin sekarang. "


Acara duka itu berlalu dengan cepat. Satu persatu para pelayat mulai meninggalkan funeral house untuk pulang. Aku menatap foto Jinyoung yang dipajang di atas petinya nanar. Entah bagaimana caranya foto itu membuat dadaku terasa ditusuk berkali-kali.

Lagi-lagi air mata yang mati-matian kutahan berhasil membuat pipiku kembali basah. Bahkan dress hitam selutut yang tengah kupakai ikut basah karena air mata yang terus menerus keluar tanpa henti.

Sebut saja aku cengeng.

Aku tidak tau sudah berapa banyak air mata yang kubutuhkan untuk menangisi Jinyoung. Yang aku tau, air mata itu selalu menampakkan diri setiap otakku memutar ulang memori yang kulalui bersama dengan Jinyoung.

"Ayo pulang. " sebuah tangan tiba-tiba merengkuhku lembut. Aku menggeleng kuat tanpa berniat menghapus jejak air dari mataku. Pemilik tangan itu menghela napasnya panjang sebelum membawaku ke dalam pelukannya.

Yang tentu saja tak sehangat pelukan Jinyoung seminggu yang lalu.

"Berhentilah menangis, Jinyoung bisa ikut sedih melihatmu dari atas sana. " suara khas miliknya hampir saja tertelan oleh suara mesin penghangat ruangan yang sudah cukup berumur. Belum lagi suara desiran angin yang cukup kencang di luar sana. Aku tetap menggeleng, membenamkan kepalaku pada bahunya.

"Kumohon berhentilah menangis, Seol-ah. " itu adalah kalimat terakhir yang kudengar dari Jihoon──yang sedang memelukku──sebelum aku tak sadarkan diri karena terlalu banyak menangis.

Tenagaku benar-benar terkuras habis karena itu.


Aku terbangun begitu merasakan pergerakan risih di sebelah kiriku. Perlahan aku menoleh, lalu mendapati Jihoon yang tengah tertidur dengan kepala yang ditumpukan pada bahuku.

Samar kudengar suara keramaian jalan raya. Aku mengerutkan alis heran sebelum menyadari bahwa aku sedang berada di atas mobil. Aku memang sempat terbangun setelah pingsan di funeral house tadi. Karena sudah terlalu larut, bibi Jihyun mengajakku dan yang lainnya untuk pulang.

Dan di sinilah aku sekarang, duduk di antara Jihoon dan Woojin yang tengah tertidur karena kelelahan. Aku juga dapat melihat Joohyun dan Daehwi yang tengah sibuk dengan handphone masing-masing di range kedua. Sedangkan ibu Jinyoung duduk di sebelah bibi Jihyun yang sedang menyetir.

Aku menghela napasku panjang begitu mobil yang dikendarai oleh bibi Jihyun berhenti tepat di depan rumahku. Aku lalu membangunkan Woojin dan Jihoon sebelum turun dari mobil.

"Terima kasih atas tumpangannya, eonni. " ucap Joohyun setelah mengambil beberapa barang di bagasi. Kurasa itu adalah barang-barang Jinyoung yang dibawa ke rumah sakit sebelumnya.

"Tak masalah──ayo masuk, di luar sangat dingin. " langkah bibi Jihyun untuk masuk ke dalam rumah kemudian diikuti oleh ibu Jinyoung dan Daehwi. Keduanya memang tidak memakai syal, karena itulah mereka masuk ke dalam rumah terlebih dahulu untuk menghangatkan diri sebelum membeku di luar.

"Kajja, kita juga harus masuk. " ajak Woojin dengan suara seraknya. Ia lalu menghela panjang napasnya, setelah itu mengambil langkah untuk berjalan masuk ke dalam rumah.

"Ah Jihoon-ah, tunggu. " suara Joohyun sukses membuat pergerakan Jihoon berhenti. Dapat kulihat ia mengeluarkan sebuah memori dari saku mantelnya, lalu memberikannya pada Jihoon.

"Aku menemukan itu di atas nakas ruang rawat Baejin. Kurasa itu untukmu dan teman-temanmu yang lain. Tontonlah. " ujar Joohyun sebelum Jihoon sempat bertanya. Seketika tatapan mata Jihoon berubah sendu, ia mengangguk paham dan berterima kasih pada Joohyun.

Tentu saja aku penasaran dengan isi memori itu. Tanpa membuang banyak waktu, aku langsung berjalan mengekori Jihoon. Namun siapa sangka Joohyun menahan lengan mantelku, yang membuatku mau tak mau harus berhenti berjalan.

"Ada apa, eonni? " bukannya langsung menjawab, Joohyun malah tersenyum padaku. Ia mengeluarkan sebuah memori lagi dari saku mantelnya dan memberikan benda itu padaku.

"Bukannya ini sama seperti yang kau berikan pada Jihoon? "

"Tidak, kurasa yang satu ini khusus untukmu. "


Don't forget to vomment

[✔] the first snow • bae jinyoung Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang