13

1.1K 229 5
                                    


"Sejak Baejin didiagnosa terkena leukimia, uang yang kami dapat dari pekerjaan paruh waktu itu digunakan untuk biaya pengobatannya. "

"Baejin melarangku dan yang lain untuk memberi tahu siapapun, termasuk ibu dan kakaknya sekali pun. "

"Kenapa? Bukankah leukimia adalah penyakit berbahaya? "

"Aku tau, tapi ia hanya tidak mau membebani ibunya. Kudengar dari ibuku, ekonomi keluarganya sedang tidak baik. "

"Tapi tetap saja harus diobati lebih cepat. "

"Kau benar. "

"Jihoon-ah. "

"Ya? "

"Apa kau yakin Baejin sanggup bertahan sampai akhir? "

"Kau tau mengapa Baejin tidak ingin memberitahumu tentang penyakitnya? "

"Hei, kau belum menjawa──"

"Ia tidak ingin kau terlalu mengkhawatirkannya seperti ini. "

Aku menghembuskan kasar napasku setelah menempatkan kepalaku di atas meja. Percakapanku dengan Jihoon malam sebelumnya terus terpikirkan olehku. Ditambah lagi fakta yang baru kudapat──bahwa penderita leukimia stadium tiga harus bersegera melakukan operasi transplantasi sum-sum tulang belakang.

"Nam Eunseol, kau ingin tidur di sini atau bagaimana? " suara penjaga perpustakaan berhasil membuatku menegakkan badan. Ya, aku memang berada di perpustakaan untuk mencari lebih banyak tentang leukimia dengan komputer yang tersedia saat itu.

Buru-buru aku mengemas barang bawaanku dan pulang ke rumah setelah berterima kasih pada penjaga perpustakaan. Tak lupa aku meminjam beberapa buku tentang darah sebelum benar-benar pulang ke rumah.

Penasaran, aku membaca salah satu buku yang kupinjam selama perjalanan pulang. Hampir saja aku melewatkan halte yang menjadi tempat pemberhentianku kalau saja tidak ada seorang nenek yang memintaku untuk menggeser posisi dudukku.

Setelahnya, aku melanjutkan langkahku menuju rumah tanpa berhenti membaca buku yang memang berhasil menarik seluruh atensiku. Bagaimana tidak? Seluruh gejala leukimia tertulis lengkap di dalamnya. Mulai dari demam tinggi──yang sering terjadi pada Jinyoung, sampai bercak kemerahan──yang sering Jinyoung sebut sebagai pertanda alerginya terhadap udang sedang kambuh.

Sesekali aku meringis karena membaca dampak yang ditimbulkan jika penderita leukimia tidak diobati dengan cepat──

"Aw astaga. " pekikku tertahan ketika dahiku membentur sesuatu cukup keras. Tanganku refleks menjatuhkan buku-buku yang kupegang dan beralih mengusap pelan dahiku.

Saat rasa berdenyut pada dahiku mulai berkurang, aku lalu mengambil kembali buku-buku yang jatuh berserakan. Aku melebarkan mataku begitu menyadari apa yang baru saja membentur dahiku itu adalah sebuah mobil.

Mobil ayahku, lebih tepatnya.

Aku tak menyangka akan sampai di rumah secepat ini, mungkin karena terlalu sibuk membaca. Sejenak, ada perasaan senang yang hadir dalam diriku. Aku sudah lama tidak bertemu dengan ayah, hampir lima tahun. Dengan langkah cepat aku masuk ke dalam pekarangan rumah. Namun siapa sangka jika hari itu ibuku juga ada di rumah?

Aku menurunkan tanganku dari gagang pintu begitu telingaku menangkap suara pertengkaran yang tak lagi kudengar selama lima tahun belakangan. Tanpa kusadari aku menangis di depan pintu, buru-buru aku menghapus kasar air mataku dan berlari menjauhi rumah tanpa arah.

Bruk.

Aku menabrak seseorang. Buku-buku di tanganku kembali terjatuh. Aku berjongkok untuk mengambil kembali buku-buku yang jatuh itu sambil terus meminta maaf pada orang yang kutabrak. Tanpa kuduga, orang itu ikut berjongkok di depanku dan mengambil buku terakhir, lalu menyerahkannya padaku.

"Lain kali hati-hati. Untung saja orang yang kau tabrak itu adalah aku. " ya, orang itu adalah Jinyoung. Ia terkekeh pelan diujung kalimatnya seraya mengusak rambutku.

Rasanya perih sekali.

"H-hei, kenapa menangis? " tanya Jinyoung tepat sedetik setelah aku membenamkan kepalaku dalam pada kedua lututku.

Kau bohong Baejin-ah. Kau bohong tentang tak akan membiarkanku menangis lagi.

"Maaf. " ucap Jinyoung tiba-tiba.

"Maaf karena tidak memberitahumu tentang leukimia itu. " kalimat itu membuatku memberanikan diri untuk mengangkat kepala agar dapat melihat wajahnya.

Jinyoung masih berjongkok tepat di depanku. Matanya menatap sendu pada buku-buku yang kubawa. Susah payah aku menghirup oksigen sebanyak mungkin sebelum menggeleng cepat, "tidak. Kau tidak perlu meminta maaf. "

Jinyoung tersenyum tipis, ia lalu bangkit dari posisinya. Begitu juga denganku yang sudah pegal dengan posisi jongkok dalam waktu yang cukup lama. Tak lupa aku memasukkan buku-buku di tanganku ke dalam tas terlebih dahulu.

"Aku tidak tau sampai kapan aku mampu bertahan. " ujar Jinyoung seraya menarik bahuku mendekat. Ia lalu memelukku erat, bahkan ia menenggelamkan kepalanya pada tangannya yang melingkar di bahuku.

Aku juga tidak tau sampai kapan aku mampu bertahan dengan harapan yang kubangun sendiri padamu.

Mau tak mau mataku kembali mewakili apa yang sedang kurasakan. Pandanganku memudar perlahan akibat banyaknya air yang telah terbendung pada pelupuk mataku.

Aku dapat merasakan hembusan hangat napas Jinyoung yang teratur. Tangannya mengusap pelan kepalaku, seolah memintaku untuk tidak menangis lebih banyak lagi.

"Maafkan aku karena sudah membuatmu menangis lagi. "


Don't forget to vomment

[✔] the first snow • bae jinyoung Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang