Langit siang itu didominasi oleh awan hitam yang siap menumpahkan isinya kapan saja. Akhir-akhir ini hujan memang acap kali turun. Beruntung hari itu adalah hari terakhirku berada di asrama, jadi aku tidak perlu mengkhawatirkan kapan pakaianku akan kering.Tidak seperti sekolah pada umumnya, sekolahku yang berasrama ini tidak mengadakan seremonial perpisahan dalam bentuk apapun. Aku juga tidak tau alasan pastinya. Yang jelas aku dan teman-temanku tidak terlalu mempermasalahkan hal itu.
"Eunseol-ah, bibimu sudah menjemput. " aku mengiyakan kalimat guru asramaku itu sebelum mengangkat semua barangku untuk dibawa keluar.
Aku berpamitan dengan teman-temanku yang masih menunggu jemputan, mengucapkan sampai bertemu kembali dan saling berpelukan. Semua itu kulakukan dengan cepat karena aku takut bibi Jihyun akan menunggu lebih lama.
"Apa aku terlalu lama? " tanyaku pada bibi Jihyun ketika aku tengah menyusun barang-barangku di dalam bagasi. Bibi Jihyun yang memang sejak awal duduk di kursi kemudi melirik pergerakanku dari kaca spion, lalu menggeleng sebagai respon.
Setelah memastikan tidak ada barang yang tertinggal, bibi Jihyun langsung menghidupkan mesin mobil untuk pergi dari parkiran asramaku. Di sepanjang perjalanan menuju rumah, bibi Jihyun terus berkomentar tentang banyak hal. Mulai dari perubahan penampilanku, pelayanan guru di asramaku sampai tentang mobil-mobil keren yang di lihatnya saat lampu lalu lintas berubah merah.
"Ah ya, kau pasti penasaran dengan tampilan keempat bocah itu sekarang bukan? " kalimat bibi Jihyun sukses membuat kepalaku menoleh sempurna ke arahnya.
"Kau pasti akan terkejut. Mereka benar-benar tumbuh dengan baik. " final bibi jihyun sebelum tangannya bergerak untuk memindahkan perseneling. Aku dan bibi Jihyun tidak melakukan konfersasi apapun setelahnya. Bibi Jihyun fokus pada kegiatan mengemudinya dan aku sibuk bergelut dengan pikiranku. Membayangkan respon apa yang harus kuberikan jika bertemu dengan keempat teman masa kecilku itu nantinya.
Hanya butuh waktu sekitar sepuluh menit yang bibi Jihyun butuhkan dari pemberhentian lampu lalu lintas itu untuk sampai ke rumah. Begitu mobil terparkir di dalam garasi, aku dengan cepat turun dari mobil untuk kemudian menurunkan barang-barang yang kubawa dari asrama.
"Eunseol-ah, pergilah ke minimarket sekarang. Aku lupa memasak makan malam. "
"Biar aku saja yang menurunkan semua barangmu. Pergilah. " lanjut bibi Jihyun seraya memberikan beberapa lembar won padaku. Tanpa membuang waktu, dengan segera aku menuntun langkahku menuju sebuah minimarket yang terletak di depan perumahan. Tak lupa aku membawa payung untuk berjaga-jaga bila hujan turun nantinya.
Aku membeli beberapa cup ramyeon, keju lembar dan semangkuk kimchi kemasan. Kurasa itu semua cukup untuk mengisi lambungku dan bibi Jihyun.
"Eoh? Nam Eunseol? " panggilan penuh keraguan itu membuatku menoleh kebelakang ketika aku sedang membayar belanjaanku di kasir. Ku dapati seorang anak laki-laki yang terlihat seumuran denganku di sana. Ia melebarkan matanya tidak percaya sebelum tersenyum menampakkan deret rapi giginya yang dihias sebuah gingsul.
"Park Woojin? " tanyaku memastikan. Laki-laki itu kemudian mengangguk semangat tanpa melunturkan senyumnya sedikit pun.
"Baejin dan yang lain pasti akan sangat terkejut melihatmu disini. Jangan pulang dulu. " ujar Woojin, ia lalu maju selangkah untuk membayar belanjaannya.
"Kapan kau pulang? "
"Baru saja. " jawabku diimbuhi sebuah tawa kecil di akhir kalimat. Woojin mengangguk mengerti, kemudian mengajakku untuk duduk di sebuah kursi di depan minimarket. Sebenarnya ada tiga anak laki-laki lagi yang duduk di sana. Menyadari eksistensiku, ketiganya serentak berdiri dari duduk nyaman mereka.
"Wanjeon! Nam Eunseol! " seru Daehwi heboh. Aku hanya dapat tertawa melihat ekspresi terkejutnya yang begitu lucu. Daehwi lalu berjalan ke arahku sambil merentangkan tangan. Tentu saja aku langsung menghambur padanya dan memeluknya erat.
"Kami sangat merindukanmu, kau tau. " aku mengangkat kepalaku untuk melihat wajah Jihoon yang baru saja bersuara. Aku membalas senyumnya tak kalah lebar, aku benar-benar merindukan mereka semua.
Bibi Jihyun benar, keempat teman masa kecilku itu tumbuh dengan baik. Dulu, tinggi mereka hanya berbeda kurang lebih sepuluh senti meter denganku. Sekarang, tinggiku hanya sebatas leher mereka saja.
"Kau sudah besar, ya. " ujar Woojin gemas setelah aku melepaskan pelukanku pada Daehwi. Lagi-lagi aku tertawa karena tidak tau harus merespon seperti apa lagi.
Sebelum aku sempat menyapa Jinyoung yang sejak awal hanya berdiri memperhatikan sambil sesekali tersenyum, suara tetes air beradu atap minimarket itu membuatku urung melakukannya.
"Ah, kenapa harus hujan? " keluh Jihoon seraya mengulurkan tangannya agar air hujan dapat mengenai permukaan kulitnya.
"Kalian tidak membawa payung? " tanyaku setelah menyejajarkan posisiku dengan Jihoon.
"Seperti yang kau lihat. " jawab Jinyoung yang juga ikut menyejajarkan dirinya denganku. Aku sempat menoleh untuk melihatnya setelah ia selesai berbicara. Aku tidak tau sejak kapan suaranya merendah satu oktaf seperti itu.
Jujur saja, Jinyoung tidak banyak berubah. Bagiku ia tetap sama dengan Jinyoung tiga tahun yang lalu. Senyumnya, kerutan halus yang muncul di sudut matanya setiap ia tertawa, semuanya. Tidak ada yang berubah. Hanya saja, ia jauh lebih pendiam dari yang kuingat.
"Seol-ah, kau bawa payung kan? Pulanglah dulu. " kehadiran Woojin membuatku beralih menoleh padanya. Aku lalu mengangguk mengiyakan.
"Baejin hyung, kau harus mengantarkan Seol pulang. " celetuk Daehwi tanpa berhenti bermain dengan tempias hujan. Refleks, Jihoon dan Woojin mengalihkan fokus mereka pada Jinyoung dan aku yang kebetulan berdiri bersebelahan.
Bukannya menjawab, Jinyoung malah memberi tatapan tidak mengerti. Seakan meminta Daehwi untuk mengulangi kalimatnya barusan.
"Antarkan Seol pulang. Kau bisa kan? " ulang Woojin yang diikuti oleh anggukan kepala Jinyoung beberapa detik setelahnya.
Tanpa disuruh, aku mengembangkan payung bening yang kubawa dari rumah. Sebelum aku sempat menaungi diriku dengan payung itu, tangan Jinyoung lebih dulu mengambil alih payung dari tanganku.
"Apa yang kau lihat Seol-ah? " pertanyaan Jinyoung sukses membuatku tersentak. Aku memang sempat tertegun beberapa saat setelah ia merapikan rambutnya.
"Antarkan dengan selamat Baejin-ah~"
"Jihoon hyung akan membunuhmu jika Seol tidak sampai dengan selamat~" ujar Daehwi di sela tawanya. Kalimat konyolnya itu lagi-lagi mengundang tawa Woojin. Berbeda dengan Jihoon, ia hanya tertawa kecil seperti biasa.
"Aish kalian ini. " aku benar-benar tidak tau apa yang salah dengan Jinyoung. Ia sama sekali tidak salah tingkah seperti tiga tahun yang lalu. Yang ia lakukan selanjutnya adalah menarik pergelangan tanganku mendekat agar dapat masuk ke dalam naungan payung yang dipegangnya.
Aku dan Jinyoung berakhir berjalan beriringan menembus jutaan larik hujan menuju rumah. Tak ada konfersasi apapun yang tercipta. Aku sempat berpikir harus beradaptasi ulang dengan Jinyoung saat itu. Kurasa karena sudah lama tak bertemu, suasana di sekitarku dan Jinyoung terasa sangat canggung.
"Seol-ah. " panggilan itu membuatku menoleh. Dapat kulihat Jinyoung menghela napasnya sesaat sebelum mengalihkan pandangannya padaku. Mau tidak mau, mataku bersibobrok dengan manik hitam pekatnya. Memicu jantungku intuk berdetak lebih cepat.
"Senang bisa bertemu denganmu lagi. "
•
Don't forget to vomment ❤
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] the first snow • bae jinyoung
Fanfictionmy heart bruised, something fall on my hand; is it tears or is it because of the first snow? ©misseubyun, 2017