Matahari bergerak menuju barat secara perlahan. Melukis sedikit demi sedikit cahaya jingga di langit biru. Sekawanan burung terlihat terbang untuk pulang. Angin berhembus pelan, menerbangkan beberapa dedaunan kering dari dahannya.Sore itu aku menggenggam erat tali ranselku. Sesekali mengedarkan pandangan untuk mencari eksistensi ayahku. Ini sudah terlalu lama bagiku untuk menunggu. Tapi ayah sama sekali belum menunjukkan tanda-tanda untuk datang.
"Eunseol-ah, kau belum pulang? " sebuah suara membuatku mengalihkan pandangan. Dapat kulihat teman sekelasku──Euiwoong──melangkahkan kakinya untuk mendekatiku. Tak lupa dengan senyum manis yang selalu terukir di wajah tembamnya.
"Ayahku belum menjemput. " aku membalas senyum Euiwoong di akhir kalimat.
Hari itu aku dan teman-temanku pergi ke balai pembibitan tanaman dalam rangka kunjungan belajar. Kegiatan seperti ini memang biasa dilakukan setiap tahun di sekolahku.
Sebelum pergi, ayah berjanji untuk menjemputku sepulang dari kunjungan belajar itu. Aku tidak tau apa yang membuat ayah belum datang. Aku juga tidak berpikir untuk pulang sendiri. Akan sulit nantinya jika ayah menjemputku setelah aku pulang sendiri. Jadi kupikir menunggu kedatangan ayah adalah jalan terbaik.
"Bagaimana jika kuantar saja kau pulang? Langit sudah mulai gelap. Ibuku akan datang sebentar lagi. " kalimat itu membuatku refleks mendongak untuk melihat langit. Memang benar, langit yang semula berwarna jingga kebiruan mulai tertutup oleh awan hitam.
Selanjutnya aku mengangguk. Menerima tawaran Euiwoong. Semburat jingga yang awalnya menerpa wajahku dan Euiwoong perlahan menghilang. Awan kelabu kini telah sempurna menutup langit sore yang tadinya sangat cerah.
"Ah, itu ibuku. " aku mengalihkan pandanganku pada sebuah mobil berwarna putih yang Euiwoong maksud. Begitu mobil putih itu berhenti untuk parkir, Euiwoong dengan segera membuka pintunya.
Aku kemudian naik ke atas mobil Euiwoong setelah ibunya mengizinkan. Ibu Euiwoong adalah teman ibuku di kantor. Jadi ia tak perlu banyak bertanya tentang alamat rumahku.
Selama perjalanan, hanya Euiwoong yang bersuara agar suasana kabin mobil tidak terlalu hening. Tidak ada percakapan yang begitu berarti.
Tak terasa mobil yang aku tumpangi telah masuk ke dalam komplek perumahanku. Entahlah, rasanya terlalu cepat. Mungkin karna aku terus melamun selama perjalanan.
"Terima kasih sudah mengantarku ahjumma. " ucapku sebelum membuka pintu mobil. Ibu Euiwoong mengangguk mengiyakan, kemudian menyempatkan dirinya untuk menitipkan salam pada ibuku. Setelah berterimakasih sekali lagi, barulah aku turun dari mobil.
Tepat di saat mobil ibu Euiwoong berbelok di perempatan, bulir pertama air hujan jatuh menyentuh pundakku. Dengan cepat, bulir-bulir itu berubah menjadi jutaan larik hujan yang saling berebut untuk turun membasahi bumi.
"Seol-ah! " panggilan itu membuatku membalikkan badan. Dapat kulihat Jinyoung yang tengah berlari menghampiriku. Ia menaungi dirinya dengan tas sekolah agar air hujan tidak langsung membasahi tubuhnya. Melihat itu aku sempat berpikir kenapa aku tidak melakukan hal yang sama untuk melindungi diriku.
"Seol-ah, kau kehujanan. " Jinyoung merangkul bahuku dan membawaku ke dalam naungan tasnya. Ia tertawa kecil ketika aku mendongakkan kepalaku untuk melihat wajahnya. Detik selanjutnya aku menyesal. Jika saja aku tau wajahnya hanya berjarak dua jengkal dari wajahku, aku tidak akan pernah mendongak untuk melihatnya.
"Ayo masuk sebelum kita berdua basah total. " ujarku seraya berlari masuk ke dalam pekarangan rumah menuju teras. Jinyoung ikut masuk ke dalam pekarangan rumahku tanpa menyingkirkan tas yang ia gunakan sebagai payung itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✔] the first snow • bae jinyoung
Hayran Kurgumy heart bruised, something fall on my hand; is it tears or is it because of the first snow? ©misseubyun, 2017