2

2K 297 36
                                    

Tanganku tetap mengelus hidungku yang terasa sakit dan juga ngilu. Laki-laki di depanku ini tetap saja memarahiku. Ingin ikut marah tapi Jeon Wonwoo ini seorang senior! Aku tidak mungkin membentaknya.

"Ehm, maafkan aku, sunbaenim," kataku. Tanganku kulepaskan dari hidung dan kubungkukan tubuhku.

Kudengar ia menghela napasnya. "Aku tak bermaksud memarahimu. Hanya saja--- tunggu!"

Ia menggenggam tanganku dan melihat telapak tanganku. Aku mendongakan kepalaku dan ikut melihat telapak tanganku.

Ada darah di sana.

"Kau---?"

Aku benci darah.

***

Plak!

Aku membuka mataku dan melihat suasana yang berbeda. Sejak kapan kamarku bercat putih?

Oh ini bukan kamarku.

"Aku sudah memukulmu berkali-kali." Suara seorang perempuan tertangkap indra pendengaranku. Aku menoleh ke arah kanan dan menemukan Jung Hani duduk dengan sebungkus kripik di tangannya. "Apa yang terjadi?"

"Apa?"

"Wonwoo membawamu ke sini dalam keadaan pingsan."

Aku menautkan alisku. "Pi-pingsan? Wo-Won-Wonwoo?!"

Aku menyandarkan kepalaku yang tadinya sedikit terangkat.

"Aku tidak sengaja menabrak Wonwoo. Hidungku jadi sakit karena mengenai punggungnya. Ternyata hidungku berdarah dan aku pingsan," kataku. "Kau tahu aku tidak suka melihat darahkan?"

"Hey Hani, apa temanmu--- oh kau sudah bangun?"

Hani berdiri dan berjalan menuju Wonwoo. Ia mencubit lengan Wonwoo. "Minta maaf kepada sahabatku!" Kemudian Hani keluar kamarnya.

Wonwoo berjalan menuju ranjang tempatku berbaring. Ia mengambil alih kursi belajar yang sebelumnya diduduki Hani. "Maaf ya," katanya. "Apa sangat sakit?"

"Ah tidak apa, sunbaenim," balasku. Aku menyentuh hidungku. "Tidak sakit sedikit pun tapi hidungku memang sedikit sensitif."

Kemudian tidak ada yang kembali bicara.

"Aku tidak tahu di mana rumahmu. Jadi aku membawamu ke rumah Hani," jelasnya. Aku mengangguk mengerti.

"Apa ibuku tahu tentang ini?"

Wonwoo mengangguk. "Hani sudah menelepon ibumu."

Aku mempernyaman diriku. Ranjang milik Hani menjadi ranjang kesukaanku karena memiliki bantal yang sangaaat empuk.

"Apa sudah merasa lebih baik?"

Aku menoleh kearah Wonwoo. Ya Tuhan. Rasanya begitu bahagian bisa melihatnya sedekat ini. Rambutnya berantakan, sama seperti seragamnya. Matanya terlihat sangat lelah karena beban pelajaran---sepertinya. Andai saja dia tahu, aku ingin sekali memeluk dirinya dan menyalurkan semua semangatku untuknya.

"Masih sedikit pusing," jawabku. "Maaf telah merepotkanmu. Ini sudah yang ketiga kalinya aku pingsan ketika melihat darah."

Aku melihat Wonwoo terkekeh. Aku mendudukan diriku. "Bisa aku pulang sekarang?" tanyaku.

"Bukannya masih pusing?"

Aku mengangguk. "Tak apa. Aku ingin membersihkan diriku di rumah."

Aku berdiri dan berjalan keluar kamar milik Hani. Di belakang, ada Wonwoo yang ikut berjalan keluar.

"Hani! Aku pamit pulang ya?"

"Sudah sehat?"

Aku tersenyum dan berkata, "Sedikit."

"Biarkan Wonwoo mengantarmu. Oke?"

Aku mebulatkan mataku dan dengan cepat menggeleng. Tiba-tiba sebuah tangan menyentuh bahuku. "Tidak apa-apa. Ayo kita pergi."

***

Aku merendam seragam putihku yang terkena tetesan darah. Setelah itu, aku menjemur seragamku di balkon. Aku masuk ke kamarku dan membaringkan tubuhku.

Itu tidak mungkin bagian dari rencana Hani kan? Aku menarik selimutku untuk menutupi sebagian tubuhku kemudian aku membuka ponselku.

LINE

Jeon Wonwoo (1)
Sekali lagi aku minta maaf

Jung Hani (5)
Kau sudah di rumah kan?

Jantungku mendadak berdetak tak karuan. Pipiku terasa panas. Mungkin warnanya sudah menjadi merah.

Apa Jeon Wonwoo, seniorku yang dingin itu baru saja menyapaku di sosial media?

Aku tersenyum malu. Aku meletakan ponselku karena tidak berniat untuk membalasnya sekarang. Tanganku meraih tombol lampu kecil di nakas dan memposisikan diriku diposisi ternyaman untuk tidur.

Aku memejamkan mataku sembari tersenyum. "Selamat malam Jeon Wonwoo."

Ponselku kembali bergetar.

Jeon Wonwoo
Selamat istirahat

obsession // jeon wonwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang