"Waktu itu aku bertemu Vernon," kataku. Aku memutar kursi belajarku agar menghadap Hani.
Ia menunjukan ekspresi terkejutnya. "Benarkah? Seperti apa dia sekarang?"
Aku berpikikir sejenak. Apa ada sesuatu yang berubah darinya? "Sama saja. Dia tetap bisa membaca keadaanku. Tapi... kau tahu... dia semakin tampan."
"Hey kenapa sih?!" Aku mengambil boneka yang baru saja dilempar Hani lalu melemparnya lagi kearahnya.
"Dengan Wonwoo saja. Kau mau mengulang masa percintaanmu yang suram itu?"
Aku mengangkat bahuku kemudian menarik napas panjang dan menghembuskannya dengan sedikit kasar. "Kalimat yang diucapkan oleh Vernon dan kau benar-benar membuatku bingung."
"Vernon bilang, setahun bisa menjadi waktu untuk membesarkan perasaanku. Sedangkan kau bilang... setahun bisa menjadi waktu untuk melupakannya."
Hani bangkit dari kasurku dan berjalan kearahku. Ia melirik beberapa foto yang kupajang di meja belajar. "Sudah kubilang, hiraukan saja pendapatku," ucapnya sambil memukul kepalaku. "Kau tidak mengantuk?"
Pertanyaan Hani membuatku menoleh kearah jam dinding. Sudah hampir tengah malam.
Malam ini aku tidak akan tidur sendiri. Ada Hani yang menginap di sini.
***
Sudah hampir satu bulan dan masih belum ada kemajuan. Tentu saja aku ingin ada kemajuan. Makanya aku melakukan hal-hal yang sepertinya akan menarik perhatiannya.
Aku sempat bermain di rumah Hani ketika ada Jeon Wonwoo, tapi ia biasa saja. Padahal ada bau gosong karena aku lupa mematikan kompor ketika sedang memasak air. Ketika di sekolah, aku sempat berada di belakangnya ketika mengantri mengambil makan siang, tapi ia tetap saja diam. Padahal aku sudah berpura-pura didorong oleh Hani yang berada di belakangku.
Dan dia tetap saja diam ketika Park Chanyeol---temannya Wonwoo--- tidak sengaja melempar bola basket dan membentur kepalaku. Padahal aku yakin Wonwoo melihat semua kejadian itu. Bagaimana tidak? Diakan ikut bermain basket bersama Park Chanyeol!
Aku memposisikan kepalaku di atas meja. Menyenangkan sekali ketika guru matematikamu tidak memasuki kelas. Tidak ada angka, rumus, atau pun asap yang mengepul diudara karena otak para siswa dipaksa kerja keras. Posisi ini begitu menenangkan. Setidaknya untukku.
"Aku lelah," ucapku dengan pelan. Aku memejamkan mataku dan mengguling-gulingkan kepalaku ke kanan dan ke kiri.
Tiba-tiba saja Hani mengangkat kepalaku secara paksa. "Bicara yang jelas," katanya. "Lelah kenapa? Guru Han kan tidak masuk kelas." Hani kembali membaca komik yang ia pegang.
"Sepupumu yang membuat aku lelah!" sahutku. "Kenapa sih aku harus menyukai orang sepertinya? Dia dekat dengan Kang Seulgi, iya kan? Kenapa tidak pernah memberitahuku?!" Aku kembali menyandarkan kepalaku ke atas meja. Tubuhku merinding karena baru saja meluapkan sebagian emosiku kepada Hani.
Aku tidak benar-benar tahu apa yang Hani lakukan---entah itu menatapku dengan tatapan bingung atau tetap membaca komiknya. Yang pasti aku tidak mendengar suaranya membalas pertanyaanku.
"Aku harus bagaimana?" tanyaku.
"Kau mau pulang sekarang atau tidak?" Otomatis kepalaku terangkat dan melihat Hani dan juga para siswa yang lain sedang mengemasi barang mereka. Bahkan sudah ada yang berhamburan keluar kelas. "Aku duluan ya," kata Hani. "Dengar. Maaf karena tidak pernah..."
"Ya ya ya. Kau sudah bilang itu setiap hari." Aku senang dengan sifat Hani yang selalu meminta maaf karena selalu tidak bisa pulang bersamaku.
Kulihat Hani tersenyum yang membuat bibirku ikut membentuk sebuah senyuman. "Hati-hati jika ingin pulang! Jangan selalu memikirkan Wonwoo, oke?" Aku mengangguk dan Hani pun menghilang dari pandanganku.
Aku mengemasi barangku dan keluar kelas. Sekarang aku harus ke mana?
Apa Wonwoo sudah pulang?
Aku tersenyum memikirkannya. Bodoh sekali. Kenapa aku terus saja memikirkannya?
Kakiku berjalan kearah perpustakaan, sebagaimana otakku bekerja. Suasanya di perpustakaan begitu berdeda dengan suasana di koridor sekolah. Di koridor sangat ramai karena sekarang waktunya pulang. Di perpustakaan juga ramai, namun ramai yang sepi. Maksudku tidak ada keributan di sini.
Aku menghampiri pustakawan dan memberikan novel yang tempo hari kupinjam, yang berjudul Winter In Tokyo. "Maaf karena telat mengembalikannya 2 hari," kataku sambil menunjukan deretan gigiku. "Apa aku terkena denda?"
Pustakawan itu tersenyum dan menggeleng. "Tidak apa-apa."
"Baiklah. Terima kasih kalau begitu."
Untuk apa berlama-lama di sini? Aku sudah mengembalikan novel itu dan sepertinya di sini tidak ada tanda-tanda kehidupan seorang Jeon Wonwoo. Jadi kuputuskan untuk melangkah keluar perpustakaan.
Tumben sekali sekolah masih ramai. Oh aku baru saja ingat kalau hari ini ada pertandingan basket persahabatan di stadion olahraga sekolah. Apa aku harus ikut menonton? Ehehe, untuk apa? Lebih baik mengerjakan pr di rumah, bukan?
Grep.
E-eh? Apa seseorang baru saja memelukku?
KAMU SEDANG MEMBACA
obsession // jeon wonwoo
Historia CortaBagi Lee Nara, setahun adalah waktu yang sangat pendek. Jadi menurutmu, yang ia rasakan adalah rasa cinta atau hanya sebuah obsesi?