3

1.8K 292 8
                                    

"Kenapa pakai masker?"

Itu pertanyaan yang dilontarkan Hani ketika aku baru saja mendudukan diriku di kursi. Aku menghela napasku. "Memar," jawabku.

Hani tertawa, sedikit terbahak. "Coba aku lihat." Ia menurunkan masker yang ku gunakan. Sebenarnya tidak begitu buruk tapi itu benar-benar menggangguku.

Hani menyentuhnya sambil sedikit terkekeh. Ia bertanya, "Sudah coba pakai salep?"

Aku menggeleng. "Aku baru menyadarinya ketika aku sudah sedikit terlambat," ucapku. "Jadi tidak sempat memberinya salep."

Kulihat Hani merogoh tasnya, seperti mencari sesuatu. Aku tidak memikirkannya dan lebih memilih memainkan ponselku. "Nih," sahut Hani tiba-tiba. Aku menoleh kearahnya dan mengerutkan alisku.

"Wonwoo yang memberikannya," katanya sambil memberikan salep yang di tangannya.

"Hah?"

"Dia itu calon dokter. Jadi dia pasti tahu kalau hari ini hidungmu akan sedikit memar dan dia menitipkanku ini," jelasnya. Aku mengambilnya dengan senyuman yang jujur saja tidak bisa kusembunyikan. "Wah, padahal aku belum mengenalkannya kepadamu. Tapi kalian sudah cukup mengenal, sepertinya."

Aku mengangkat bahuku. "Apa ini sebuah pertanda baik?" Senyumanku terus saja mengembang. Ditambah lagi diriku yang memanas karena malu dan jantungku yang berdetak cepat.

"Biasanya seperti itu," Hani menggantungkan kalimatnya. "Tapi tidak tahu juga."

***

Hani dan aku berada di perpustakaan. Memar di hidungku sudah mulai membaik berkat salep yang katanya diberikan oleh Wonwoo.

Kami membolos.

Iya, percayalah. Kami membolos mata pelajaran Guru Jung yang mengajar sejarah. Aku suka sejarah. Hanya saja tidak untuk hari ini.

Biasanya Hani akan mencegahku untuk membolos, tapi entah kenapa, hari ini malah ia yang mengajakku membolos.

Kami memang membolos dan biasanya orang membolos untuk makan di kantin atau tidur di perpustakaan. Namun berbeda dengan Hani. Ia membaca buku dan yang ia baca adalah ensiklopedia astronomi. Itu buku yang benar-benar tebal. Bahkan ia berniat meminjam buku itu!

Sedangkan aku, umm aku sibuk mencari sebuah buku dideretan novel romansa. Moodku sedang baik untuk mencernah kata-kata romantis di dalam novel. Jadi apa salahnya membaca dan meminjam satu buku?

Sebuah novel berjudul Winter In Tokyo menarik perhatianku. Hanya saja letaknya yang berada di rak agak atas. Aku bisa menggapainya---aku ini tidak terlalu pendek. Tapi jika aku memaksa, ya... mungkin buku-buku yang lain akan terjatuh.

"Permisi."

Aku berniat meminta tolong kepada seseorang di perpustakaan. Oh, ternyata dia Jeon Wonwoo.

Tunggu, apa?!

"Eh kau yang kemarin ya? Apa hidungmu sudah mendingan? Sudah mendapat salep yang kutitipkan di Hani?"

Jeon Wonwoo ini... Apa dia benar-benar perhatian padaku atau hanya karena ia tak sengaja melukaiku?

Aku mengangguk dengan rasa gugup di diriku. "Memarnya sudah mereda," kataku sambil menunjuk kearah batang hidungku.

Aku melihat dirinya tersenyum. Ah, apakah ini sifat asli seorang Jeon Wonwoo? Laki-laki yang manis dan hangat.

"Bagus kalau begitu. Kupikir besok akan..."

"Ma-maaf memotong, tapi bisakah anda bisa membantuku mengambil novel di atas sana?" Apa aku baru saja berbicara formal kepadanya?

Wonwoo melihat kearah rak buku yang kutunjuk kemudian dia terkekeh. "Winter In Tokyo, hm?" Aku mengangguk. Ia mengambilnya dengan mulus, bahkan buku-buku yang lainnya tidak bergerak sedikitpun.

"Salah satu novel romansa yang kusuka," katanya sembari memberika novelnya. "Selamat membaca."

***

Hani menatapku yang sedang tersenyum. Aku benar-benar tidak bisa menahannya. Aku sangat bahagia.

Tuk!

Ia memukul pelan kepalaku. "Apa kau benar-benar menyukainya?" tanya Hani sembari menutup ensiklopedia yang sebelumnya ia baca. Aku mengangguk pasti sambil tetap tersenyum. "Bagaimana kalau aku bilang dia sebenarnya menunggu seorang perempuan?"

Aku terdiam kemudian memiringkan kepalaku. "Apa maksudmu?"

"Aku..."

"Jadi Wonwoo itu sudah menyukai orang lain?" tanyaku dengan suara tinggi namun masih berbisik mengingat kami masih berada di perpustakaan.

Hani menghela napasnya. "Wonwoo pernah cerita kalau ia sedang menunggu seorang perempuan. Mungkin itu cinta pertamanya atau entahlah aku tidak tahu. Yang pasti kau harus berhati-hati," katanya. "Kau bisa saja menjadi tempat dia berlabuh untuk sementara."

Aku menopang kepalaku dengan kedua tangan dan memejamkan mataku. Semuanya terasa kosong ketika Hani menjelaskan maksudnya. "Ah... Aku benci situasi ini. Tak bisakah ia menetap dan membiasakan diri untuk melihatku?"

Benar. Jeon Wonwoo memang harus seperti itu. Tapi, apa yang akan kulakukan?

obsession // jeon wonwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang