5

1.5K 245 9
                                    

Sepasang sepatu berwarna biru dengan garis merah di bawahnya. Kuyakin ukurannya 46.

Eh, bagaimana jika sepatu itu bukan miliknya? Satu-satunya cara agar mengetahuinya adalah...

"Kau... Lee Nara, bukan?"

Aku bahkan belum mengangkat kepalaku tapi ia sudah mengenalku.

Dia Vernon Chwe.

"Ve-Vernon?" Itu benar-benar dia. Vernon yang selama ini membuatku jengkel.

Ia menarik tanganku dan membuatku duduk di salah satu kursi. "Aku tak menyangka akan bertemu denganmu!" katanya dengan nada bicara yang kedengarannya begitu tertarik.

Aku hanya tersenyum kemudian berkata, "Maaf, tapi aku harus pulang sekarang. Sebentar lagi malam tiba," ucapku.

"Eh, tunggu sebentar! Akan kuantar. Tunggu sebentar. Aku akan membeli beberapa kue."

Aku mengangguk. Aku tidak akan berbohong kalau aku sebenarnya begitu senang bertemu Vernon di sini. Di Korea. Sejak kapan dia ke Korea?

"Jadi, kenapa kau di sini?" tanyaku ketika aku memasuki mobil Vernon.

"Ingin berlibur. Di sana terlalu ramai. Aku lebih suka di sini," jawabnya. Itu jawaban yang tidak benar. Aku yakin itu.

"Ayahmu pasti sudah dipindah tugaskan kembali ke sini. Iya kan?"

Kulihat ia menunjukan deretan gigi putihnya. "Bagaimana kabarmu?" tanyanya. Dia masih Vernon yang dulu. Ver non yang suka mengalihkan pembicaraan.

"Seperti yang kau lihat," jawabku tanpa menatapnya. Aku merasakan pandangannya menelusuriku dari ujung kepala sampai ujung sepatuku.

"Terbebani karena pelajaran?"

Begitu mendengar itu, aku langsung menjentikan jariku. Dia masih Vernon yang sama.

"Dan terbebani urusan percintaan. Apa yang kali ini benar?" Ia bertanya lagi dan sekarang dia menatapku karena lampu lalu lintas sedang berwarna merah.

Aku menatapnya yang sedang menatapku. "Jadi, sudah menemukan laki-laki ya cocok?" Dia tersenyum dan kemudian melepaskan kakinya pada pedal rem. "Laki-laki seperti apa itu?"

"Dia... dia jauh berbeda darimu," kataku. "Dia lebih dingin darimu. Dia sulit ditebak. Dia menyebalkan, padahal dia tidak melakukan apa-apa kepadaku."

***

Aku merebahkan tubuhku di kasur. Aku baru saja selesai mandi dan rasanya begitu menyegarkan.

Kalau kau sering memikirkannya bahkan ketika kau hendak tidur, sepertinya perasaanmu bukanlah perasaan yang biasa. Satu tahun bisa menjadi kurun waktu yang begitu lama dan di waktu itulah kau bisa saja membesarkan perasaanmu.

Terkadang Vernon itu orang yang menyebalkan. Namun ada saatnya ia menjadi seorang pendengar dan pemberi saran yang baik.

Jung Hani
Wonwoo bertemu dengan mantannya.

Aku mengerutkan alisku. Memangnya kenapa kalau dia bertemu dengan mantan kekasihnya?

Lalu??

Jung Hani
Kau tidak cemburu atau.... merasa apa gitu?

Hmmm...
Tidak tahu...

Jung Hani
Berarti ini sebuah obsesi. Iya kan?

Apa?
Kau baru saja memberikanku kuis dadakan?

Jung Hani
Kkkk~
Wonwoo tidak bertemu mantannya

Aku tahu
Sebenarnya untuk juga apa dia bertemu mantannya?

Jung Hani
Mengajaknya kembali berpacaran?

Terserahlah

***

Siang itu terasa lebih ramai dari biasanya. Mungkin karena kebanyakan guru sedang mengadakan rapat jadi para murid banyak yang di kantin. Aku dan Hani berjalan menuju area kantin dan sudah melihat banyak murid yang mengantri agar mendapat makan siang.

Tepat di depan sana... aku melihatnya.

Jeon Wonwoo dengan teman-temannya sedang berdiri sambil mengobrol, seakan-akan mereka menghalangi jalan masuk. Ah, mereka memang menghalanginya.

Kami berdua sampai di dekat mereka, tepat di belakang dua orang yang memiliki kaki jenjang. Jeon Wonwoo berdiri di depan kedua orang itu, menghadap kearahku. Di sebelahnya ada tiga orang yang lainnya.

Pandangan kami bertemu. Hanya bertemu dan terkunci oleh ruang dan waktu. Apa ia tidak berniat untuk minggir?

Apa ada yang salah dengan wajahku? Kenapa dia terus menatapku? Dan kenapa aku tidak bisa melepaskan tatapanku?

"Ya Jeon Wonwoo! Suruh teman-temanmu ini minggir! Menghalangi jalan saja!" Jung Hani yang bilang seperti itu. Dan saat itulah Jeon Wonwoo tersadar. Ia menyuruh teman-temannya masuk ke area kantin dan membiarkan Hani dan aku masuk.

Hani dan aku duduk di salah satu kursi kosong. Di depan kami sudah ada nampan berisi nasi merah dengan beberapa lauk lainnya. "Untuk apa menatapnya terus?" Hani bertanya, kemudian memasukan kacang panjang ke dalam mulutnya.

"Kukira dia akan sadar dan cepat bergerak. Tahunya dia ikut menatapku dan menguncinya," jawabku.

Hani memutar bola matanya malas, kemudian ia tertawa. "Jeon Wonwoo itu membingungkan. Benar tidak?"

Aku membalasnya dengan anggukan. Senyuman terukir di wajahku. "Bagaimana jika aku melupakan Jeon Wonwoo?"

obsession // jeon wonwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang