Intermezzo - 4

1K 107 23
                                    

Sudah hampir sebulan lebih sejak peristiwa perampokan yang aku alami. Kesehatan raga dan juga jiwaku sudah jauh membaik. Trauma yang ku rasakan berangsur mampu untuk aku atasi. Aku tidak lagi terlalu sering mengalami mimpi buruk di malam hari, yang membuatku terbangun di tengah malam sambil berteriak histeris.

Ayah dan bunda sangat membantu untuk membuat keadaanku lebih baik. Empat belas hari pertama setelah kejadian naas itu, mereka berdua langsung mengajakku berlibur ke Jepang - salah satu negara yang mengagumkan bagiku. Suasana di sana yang sangat menyenangkan, sangat membantu kestabilan jiwaku. Aku akhirnya bisa tertawa lepas lagi, seperti saat berkunjung ke salah satu cafe di sana. Aku harus mati-matian menahan tawaku, ketika melihat ayahku harus menggunakan rabbit ear untuk bisa berfoto dengan para maid cafe.

Sungguh dua minggu penyembuhan jiwa yang sangat mengesankan. Sepulang dari Jepang, giliran Gio yang selalu berusaha membuatku tersenyum. Ada saja tingkah lakunya yang membuat tawaku meluncur dengan mudah. Dia akan melakukan apa saja, hanya supaya melihatku tersenyum.

Seperti dua hari kemarin, saat dia mengajakku ke sebuah tempat karaoke. Aku harus melihat dia bernyanyi, sambil bertingkah lucu. Dia tidak pernah tanggung-tanggung, dalam usahanya membuatku tertawa. Bagaimana tidak tertawa, ketika melihat CEO G-Tech Group, yang terbiasa berpenampilan rapi dan penuh wibawa, menyanyikan lagu Isyana Saraswati sambil menirukan gaya penyanyi cantik itu. Beruntung ruangan yang kami tempati saat itu bersifat private dan VVIP, jadi tidak ada yang bisa melihat tingkah konyol Gio.

Gio memang tidak pernah memakai topeng, jika sedang bersamaku. Dia selalu apa adanya dan tidak pernah berpura-pura. Gio selalu menjadikan aku sebagai orang pertama untuk berbagi apa pun. Terkadang aku sampai dibuat kebingungan, dan tak tahu bagaimana harus menghadapi kejujurannya. Seperti saat dirinya mengatakan cinta padaku. Sejujurnya, saat itu aku ketakutan. Namun karena dia adalah Gio-ku, maka aku belajar untuk mengatasi perasaan takutku. Apalagi Gio tidak pernah memaksakan perasaannya padaku. Dan sikapnya pun tidak pernah berubah padaku, hingga aku tetap merasa nyaman. Itulah mengapa aku menerimanya sebagai calon tunanganku. Dia terlalu baik untuk aku kecewakan.

Namun sekarang, aku sering menyesali keputusanku untuk bertunangan dengan Gio. Bukan karena sikap Gio yang membuatku kecewa ataupun membuatku tidak nyaman. Ini lebih kepada kemantapan hatiku sendiri. Seharusnya aku baru menerima perasaannya saat hatiku benar-benar telah berlabuh padanya. Akan sangat menyakitkan jika aku terlalu besar memberinya harapan, sedangkan perasaanku masih tak menentu. Potensi datangnya gangguan pun akan sangat besar. Dan aku takut jika tanpa sadar perasaan dan hatiku akan menemukan persinggahan yang lain. Bagaimana jika aku tertarik atau bahkan jatuh cinta pada pria lain, di saat statusku sudah resmi menjadi milik Gio? Itu pasti akan sangat menakutkan. Dan menyakitkan.

Mungkin itu lah yang sedang terjadi padaku saat ini. Sejak peristiwa perampokan yang menimpaku, wajah Bagas selalu menyelip masuk di antara ratusan lamunanku. Aku sedikit sering - oke sejujurnya sangat sering, memikirkan dirinya. Aku ingin sekali bertemu dengannya.

Gio pernah berjanji akan mencarikan informasi tentang Bagas. Namun mungkin karena kesibukannya di kantor - dan aku sendiri juga sibuk untuk memulihkan diri dari trauma yang ku alami, menyebabkan pencarian informasi tentang Bagas menjadi sedikit terlupakan. Sekarang aku bahkan tidak memiliki nyali untuk bertanya lagi pada Gio. Aku tidak ingin dia berpikiran yang aneh-aneh tentang aku. Tidak mungkin kan jika aku menggunakan alasan rindu, ketika menanyakan tentang janjinya untuk menemukan informasi soal Bagas. Aku tidak mungkin sekonyol itu. Tentu saja.

Tapi rasa rindu ini semakin hari semakin menyiksa. Aku sungguh-sungguh ingin bertemu dengannya. Aku ingin berterima kasih sekali lagi atas pertolongannya. Aku ingin sekali melihat senyumannya. Karena seingatku, dia sama sekali tidak tersenyum setelah berhasil menolongku dari peristiwa perampokan itu. Bahkan tidak juga memberikan senyum untuk sekedar menenangkanku. Seingatku dia cenderung terlihat kesal, karena melihatku terus-menerus menangis ketakutan saat itu. Memangnya apa yang dia harapkan dariku? Tentu saja aku histeris karena ketakutan. Aku kan sedang dirampok, bukannya sedang menonton konser Katy Perry, batinku kesal.

Intermezzo (Selingan Indah)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang