Goes to the Galaxy

15 0 0
                                    

Goes to the Galaxy (Anggie Bauti)

Indonesia 2071,

Namaku Kirana, aku tinggal di negara yang dulunya sangat subur, hijau akan tumbuhan. Namun, sekarang berubah menjadi gersang diakibatkan oleh radiasi matahari. Di sini udara semakin menipis sehingga kami para manusia harus menggunakan baju khusus ketika keluar dari rumah kami yang berbentuk kapsul. Baju kami seperti baju para astrout, memiliki kaca pelindung yang bernama gold plate, yang akan melindungi mata kami dari paparan sinar ultraviolet dan sebuah kantung oksigen di punggung kami. Berat memang, tapi inilah yang harus kami lalui untuk bertahan hidup di planet ini.

Malam di sini begitu terang dengan adanya supermoon yang selalu menghiasi langit. Aku menghirup oksigenku berkali kali sambil menatap nanar pemandangan di depanku.

Pesawat antariksa raksasa berbentuk bulat tengah memasukkan satu per satu manusia kedalamnya. Ya, kami semua dihimbau untuk pindah ke eksoplanet yang bernama Proxima B yang jaraknya Empat tahun cahaya dari bumi. Mereka mengatakan planet itu menjanjikan kehidupan,karena ditemukan keberadaan tanah dan air.

Mereka semua rela meninggalkan bumi ini, demi sebuah kehidupan yang belum tentu lebih baik. Namun, aku tidak akan kemana-mana. Inilah tanahku, tanah nenek moyangku. Aku tidak akan meninggalkan tempat ini. Biarlah aku hanya tinggal berdua saja dengan Ibuku. Oh ya, Ibuku, kenapa dia berada diantara kerumunan orang-orang itu? Walaupun kami memakai baju yang serupa, aku bisa mengenali Ibuku karena dia memakai kursi roda, dan ornamen pada jaketnya berwarna biru, hadiah dariku bulan lalu.

Aku berlari menerobos kerumunan orang-orang itu, dan aku melihatnya jauh di sana. Ibuku yang duduk di kursi rodanya tengah di dorong oleh seseorang memasuki pesawat.

"Ibu!" teriakku.

Dengan sekuat tenaga aku berlari. Sial! Baju ini sangat berat, menghambat langkahku. Aku terus berusaha mencapai Ibu, dan aku dapat bernapas lega ketika Ibu menengok ke belakang dan melambaikan tangannya kepadaku. Aku melangkah lebih cepat lagi ke arahnya.

"Ibu, kenapa Ibu ada di sini?" Tanyaku.

"Bara menjemput Ibu di kapsule, dan mengatakan kita harus meninggalkan planet ini," ucap Ibu.

"Kenapa Ibu tidak menungguku pulang?" tanyaku dengan nada frustasi.

"Bara bilang, kamu sudah ada di dalam, Ran," ucap Ibu terbata-bata.

Langsung kupeluk tubuh Ibuku. Kudorong kursi rodanya menjauh dari pesawat.

"Ran, Kirana ...," panggil seseorang yang sangat ku kenal suaranya.

Aku tidak menghiraukannya. Aku tetap mendorong Ibu menjauhi pesawat. Tiba-tiba dia memegang lenganku.

"Lepas!" Ucapku sambil meronta agar tangannya menjauh dari lenganku

"Ran, dengarkan aku!" ucapnya.

"Kamu yang harus mendengarkan aku, Bara! Kenapa kamu membawa ibuku ke tempat ini?" aku sudah mulai kehilangan kesabaran, kurasakan tangan Ibu menepuk lembut lenganku, berusaha menahan emosiku.

"Kita harus segera meninggalkan planet ini, Ran!" ucap Bara.

"Kemana? Ke eksoplanet itu, hah? Kamu tahu jarak yang harus kita tempuh untuk sampai ke sana? Apa sudah ada konfirmasi dari pesawat sebelumnya bahwa planet itu layak huni?" aku mencecarkan pertanyaan padanya dengan emosi yang sudah tersulut sempurna.

"Ran, setidaknya kita harus mencoba, planet ini satu bulan lagi akan mengalami benturan dengan Planet Kepler XIX CA, dan semuanya akan musnah, kamu tahu itukan?" terang Bara sambil kedua tangannya berada di pundakku.

Aku terdiam, tidak tahu harus mengatakan apalagi. Aku tau semua ini pasti akan terjadi. Namun, pindah ke eksoplanet pun tidak akan mengubah kenyataan. Manusia akan musnah. Ya, peradaban ini akan hilang. Dunia yang kita singgahi akan habis masanya.

"Ran, ayolah masuk. Aku mohon!" bujuk Bara.

Kuhela napas berat, kulepaskan kursi roda Ibuku dan menyerahkannya pada Bara. Bara menatapku dengan sendu, bisa kulihat dari gold plate yang membungkus wajahnya.

"Bawalah Ibuku," ucapku dengan nada lemah.

"Nak!"

"Ran!" ucap Ibu dan Bara bersamaan

"Aku sudah berjanji pada Ayah. Apapun yang terjadi aku tidak akan meninggalkan tempat ini," dengan perlahan kakiku melangkah mundur, menjauhi mereka.

"Kirana, Ayahmu sudah berada di Proxima B, dia sedang menunggumu sekarang," ucap Bara.

"Tidak, dia akan kembali jika tempat itu benar-benar ada. Sebelum dia kembali aku tidak akan kemana-mana," jawabku mantap.

"Nak, Ibu tidak akan pergi tanpamu!" ucap Ibu sambil melepas tangan Bara dari pegangan kursi rodanya.

Bara menatapku dengan penuh permohonan. Dadaku terasa sesak harus melakukan ini. Tapi aku harus memegang janji itu. Kulihat orang-orang tadi sudah masuk ke dalam pesawat, hanya tinggal beberapa orang lagi dan pintu akan tertutup. Dengan cepat ku dorong kursi roda Ibu memasuki pesawat. Berat baju tidak jadi halanganku lagi, setidaknya Ibu akan aman di dalam sini. Bara mengikutiku dengan senyumannya, aku menghampirinya yang berdiri di dekat pintu kabin.

"Pintu akan tertutup otomatis dalam 10, 9," suara mesin dari pesawat.

"Jaga Ibuku, aku mohon," ucapku sambil menggenggam tangannya, "aku mencintaimu, maafkan aku tidak bisa menjadi yang terbaik untukmu," ucapku lagi.

"5, 4, 3,"

Aku segera melompat keluar, masih dapat kulihat wajah bara yang terbelalak menatapku sebelum pintu itu tertutup dan tidak akan terbuka lagi.

Kumpulan Flash FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang