The Promises

17 1 0
                                    

Keenand menempelkan tangan kanannya pada pipi mungil bayi merah yang tertidur pulas di dalam box berwarna putih. Dia elus lembut permukaan kulitnya yang sangat halus. Bibirnya menyungging gemas manakala bayi itu terjaga dari tidurnya, merenggangkan tangan mungil, sedikit terganggu dengan sentuhan Keenand yang mengusik tidurnya. Perempuan setengah baya dari arah belakang langsung mengangkat bayi itu dan menggendongnya menjauh dari Keenand.

Keenand hanya dapat menghela napas berat dan berbalik menjauhi box bayi, dengan langkah pelan dia masuk ke dalam kamarnya.

Di dalam kamar, Ruby istrinya tengah berbaring lemah. Lima hari yang lalu, Ruby melahirkan putra mereka dengan cara cesar dan dua hari sudah Ruby dan bayinya diizinkan pulang. Ruby mengajak Keenand tinggal di rumah orang tuanya dengan alasan bahwa dia tidak sanggup merawat bayinya karena bekas jahitannya belum sembuh. Sejak itu pula Keenand merasa seperti mahluk yang kasat mata. Bagaimana tidak, dia tidak pernah dianggap bahkan sekalipun  keenand tidak diizinkan untuk menyentuh bayinya sendiri oleh mertuanya.

"Kenapa mas?" Ruby menepuk tempat di sebelahnya, menyuruh suaminya itu duduk di dekatnya. "Kok murung banget kayaknya?" Ruby menggenggam tangan suaminya.

Keenand duduk di sebelahnya, menatap Ruby dengan sendu.
"Kapan kita keluar dari rumah ini, Sayang?" tanya Keenand.

Ruby mengerutkan keningnya. Tangannya mengusap lembut wajah tampan suaminya.

"Kenapa lagi, Mas?" tanya Ruby.

"Kamu tahukan mamamu tidak pernah menyukaiku?"

"Mas, udah deh. Itu cuman prasangka buruk Mas aja." Ruby menatap Keenand dengan malas.

"Sayang, ini bukan prasangka buruk. Ini kenyataan, Mamamu nggak suka sama aku," jelas Keenand.

Ruby terdiam. Dia mencoba berpikir sesuatu untuk meyakinkan suaminya ini agar tetap tinggal di rumahnya. Bukan kembali ke kontrakan kecil mereka dulu.

"Mas, selama kita nikah kalau Mama dan Papa nggak suka sama kamu, untuk apa mereka menyokong rumah tangga kita. Mereka menstransfer rekeningku setiap bulan." Ruby mengusap lembut lengan suaminya. "Dan sekarang, disaat kita kesusahan karena biaya Cesar aku, kalau mereka nggak suka sama kamu, mereka nggak akan bayarin biaya rumah sakitku, Mas."

"Mereka lakukan itu karena mereka sayang sama kamu, bukan aku." Kenaand menatap lekat wajah istrinya

"Kalau mereka tidak menyukaimu, mereka juga tidak akan menyukai bayi kita," ucap Ruby dingin. Keenand terdiam mendengarnya, Ruby menangkap kekecewaan di mata suaminya. "Lagian kalau kita pergi dari rumah ini, kita mau kemana? Kontrakan kita sudah habis masanya, kita juga tidak punya uang untuk meneruskannya."

"Aku juga punya rumah, Yank. Walaupun tidak sebesar istanamu ini. Setidaknya, aku bisa bernapas lega jika di rumahku sendiri," bela Keenand.

"Bukannya aku nggak mau mas pulang ke rumah Ibu. Tapi, tunggu biar bayi kita berumur tiga bulan, lagian jahitan Cesar aku belum pulih benar, Mas. yang ada malah aku akan ngerepotin Ibu di sana," sanggah Rubi,lagi.

Keenand menghela napas berat. Dia gagal lagi membujuk istrinya untuk pindah dari rumah mewahnya. Dia harus lebih bersabar lagi menghadapi mertua yang tidak pernah menganggapnya. Keenand menatap wajah istrinya, mengangguk dan tersenyum sambil mengusap lembut puncak kepala Ruby. Dia harus mengalah, setidaknya dia tidak boleh membuat Ruby stres karena itu tidak baik bagi wanita yang sangat dicintainya ini.

*

Ruby dan keenand tengah duduk di taman rumah. Berbagai macam jenis anggrek ditanam dengan indahnya, dan di tengah-tengah ada sebuah air mancur besar dengan patung Dewa Neptunus yang tengah mengeluarkan air dari ujung telunjuknya.

Kumpulan Flash FictionTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang