Jumat, 4 Agustus 2017

39 27 0
                                    

Perempuan yang duduk di sana, mewarisi kulit asia sepenuhnya, hidungnya berdiri mungil di antara kedua pipi tirusnya (mungkin bisa disingkat pesek) .

Istimewa.

Gue punya analogi tersendiri untuknya: cokelat panas. Manis. Dan hangat.

"Woy, Nindy!" Gue coba mengagetkannya dari belakang. Namun bukan malah dia yang kaget, tapi gue.

Bagaimana tidak? Gue ... salah orang.

"Eh, maaf ya, gue kira lo tadi Nindy," ucapku. "HAATCIH! Eng, HAATCIH! Nggak- HAATCIH! pa- HAATCIH! pa." Gue nyengir melihatnya.

"Hai kenalin, gue Velly," kata gue sambil mengulurkan tangan.

Perempuan itu menggosok hidungnya yang kemerahan. "Ah. HAATCIH. Gue Letta." Perempuan itu langsung menutup mulutnya.

Dan beruntung lah ia tidak jadi bersin. "Oh ya maaf gue ganggu." Perempuan itu melamun, menatap rerumputan yang ada, bisa gue lihat hidungnya yang kembang kempis.

"HAA-"

"Gue duluan ya, bye."

Selamat juga dari si "hattcih hattcih".

Gue lanjut mencari Nindy, temen bubuyutan.

Setelah gue cari-cari dari lorong hingga ke lorong lagi, dari lubang hingga ke lubang lagi. Dari pintu ke pintu lagi. Ternyata Nindy yang gue cari, si sipit bermata empat menguntit gue sedari tadi tanpa gue sadari.

Satu.

Dua.

Tiga.

"NINDYYYY GUE TAU LO DARI TADI NGUNTIT GUE KAN?!" kata gue sedikit teriak.

Orang itu menoleh ke arah gue.

Tubuh gue gemetar , keringat dingin, tangan kaki dingin.

"Eh, kamuuh ganggu eike aja deh," ucapnya agak ngondek.

Sontak gue kabur.

Sialan, gue kira beneran si Nindy, ternyata oh ternyata.

Gue lari sekenceng-kencengnya, takut tuh orang ngejar. Eh, gara-gara gue lari, sepatu gue kelempar.

Bukkk

"Aduh, sepatu gue kena orang." Gue panik sendiri, orang yang kena sepatu gue udah celingak-celinguk kaya orang mau maling ayam. Duh, mampus dah gue. Itu sepatu kenapa bisa kena orang coba. Hadeh.

Anjir tuh orang pake ngeliat gue lagi. Aduh gimana nih? Ah tau ah lari aja gue dah.

"Woy mau kemana lo?! Woy jangan lari!" teriak orang itu.

Yah kok dia pake ngejar gue segala? Akhirnya gue mepercepat kecepatan secepat jet melayang di udara.

"Heh tunggu eike! Kamu, mau kemana sini kamu?! Eike mau giling-giling kamu!" teriak banci itu dari kejauhan sambil berlari dengan indahnya.

Nggak peduli apa pun, gue harus cari tempat berlindung sekarang sebelum dua orang sinting itu nangkep gue yang notabene nggak salah apa-apa.

"Jangan kabur lo!"

"Tunggu eike!"

Gue frustasi guys. Rencana gue pergi buat seneng-seneng hancur sudah.

Tapi di mana gue harus ngumpet?

DI MANA?!

Gue ada di mana sekarang?

Goblog banget gue lari-lari tapi nggak merhatiin lokasi.

Oh ya, gue harus ngumpet.

Gue langsung pergi ke sebuah pohon beringin besar dan ngumpet di sana, semoga mereka nggak nemuin gue.

Akhirnya aman juga. Loh, Nindy kemana ya? Bodo ah yang penting gue aman dari banci itu.

Tapi bentar. Kok gua kaya nginjek sesuatu, lembek? Ewh ranjau!

Ya ampun sial banget hari ini. Udah dikejar banci, nginjek ranjau pula. Rasanya gue pengen nyanyi lagunya Anji deh.

"Oh Tuhan, kucinta dia, kusayang dia tapi malah ketemu banci." Begitulah senandung gue saat kesialan ini melanda.

Nasib gue hari ini bener-bener sial, niat hati nyari Nindy malah salah manggil orang, ketemu banci pula, dan berakhir dengan kesialan lainnya.

Astaga nggak sanggup gue buat ngungkapin gimana malangnya hidup gue kali ini. Ranjau ini, sulit di definisikan dan jangan harap gue buat menggambarkannya.

Gue jengkel setengah hati sama temen sialan gue itu, kalo gue ketemu dia gue pengen nabok dia pake banget.

Dengan setengah hati gue membersihkan sisa kemalangan gue.

Ewh menjijikan.

Sambil terus menggerutu gue mencari Nindy yang sejak tadi belum juga nunjukin batang hidungnya.

"Sial," geramku. "Liat aja dia gue jadiin elap ranjau baru tau rasa!" maki gue terus sepanjang perjalanan mencarinya.

Mata gue menangkap sosok yang sangat gue kenali sedang berbincang dengan seseorang yang tak gue kenal dibangku yang tidak jauh dari tempat gue berdiri.

Gue memantapkan kaki gue ke arahnya, siap dengan sepatu yang terkena ranjau tadi tengah menantang bangga berharap mengenai sasaran.

Dengan setengah hati gue menghampirinya dan BOOM.

"KEMANA AJA LO BANGKE GUE CARIIN GA NONGOL TERUS HAH?!"

Tanpa kusadari sepatu yang gue pegang mengenai seseorang, gue yang terus menatap Nindy tak menghiraukan deheman dari sebelah. Seolah tersadar akan sepatu ranjau, gue menoleh dan gue terkejut.

Dia,

"BANCI ROMBENG SIALAN."








--------END--------

Sambung Cerita Altair PaperlineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang