Jumat, 11 Agustus 2017

33 25 1
                                    

Prom night malam ini mungkin merupakan acara terakhir Shela untuk bertemu dengan teman-temannya, karena besok Shela harus pergi meninggalkan Indonesia.

Malam ini ia lewati dengan rasa penuh penyesalan. Bagaimana tidak, sudah seminggu ini Shela tidak bertemu dengan Radit yang merupakan pacarnya. Shela sangat mengetahui bahwa apa yang dilakukannya itu telah menyakiti hati Radit.

Saat-saat yang seru bersama Radit kini sudah tak ada lagi.

Shela pergi ke toilet sebentar untuk berkaca, dia masih memikirkan banyak hal. Shela merasa sedih. Selesai dari toilet, Shela keluar dan tiba-tiba dia menabrak seseorang, dilihatnya orang yang ia tabrak itu. Ternyata orang itu adalah banci.

"Aduh gimana sih! Eike kan lagi jalan! Main tubruk-tubruk aja! Baju eike kan jadi rusak ah!" ucap banci itu.

"Eh maaf pak, eh tante, eh bu, eh banci, aduh apa sih?" Banci yang mendengar pun langsung marah.

"Kamu tuh! Eike tuh cewek ya! Masa dipanggil bapak-bapak!" bentak banci itu sambil melepaskan heels-nya lalu ancang-ancang ingin memukul Shela. Shela yang menyadari itu langsung terbirit-birit lari.

Beruntunglah, sebab kehadiran banci mengobati sedikit luka di hati Shela. Dia berlari menuju beranda, bermaksud menghirup udara segar dan menenangkan pikiran.

Setidaknya itu yang dia pikirkan sampai melihat sosok pria yang tengah berdiri tegap menghadap pemandangan di depan.

Shela menggigit bibirnya, walau ia tak melihat wajahnya, perempuan itu sudah tahu bahwa itu adalah Radit.

Shela berjalan pelan, menapaki tangga dan berlari cepat memastikan bahwa orang yang ada di sana adalah orang yang ditunggu-tunggu sejak tadi.

"Radit." Radit menoleh dan memberikan senyuman hangat seperti biasanya.

"Ini, untukmu. Maaf aku terlambat," ucapnya sambil memberikan rangkaian bunga yang ia pegang.

"Terima kasih," ucap Shela. Tapi saat Shela menatap mata Radit, ada pandangan yang berbeda di sana. Perasaan tak enak pun menghinggapi hati Shela. Membuat hati menjadi was-was.

Berat sekali untuk memberitahu Radit. Ini hari terakhirnya bertemu dengan lelaki itu. Entah kenapa tatapan Radit yang dalam dan sendu, semakin membuat Shela takut membicarakan kepergiannya. Apa semesta dapat menolongnya? Oh Malam tolong bicara pada Radit ia tak sanggup berbicara.

Shela menghela napas pelan. "Aku bakal pergi besok."

Lelaki itu masih tersenyum sendu, menatap gadis di depannya lekat. "Aku sudah tahu."

Shela membeku. Bagaimana Radit tahu?

Masih enggan melunturkan senyum, lelaki itu berkata seakan dapat mendengar pertanyaan Shela, "Seharusnya kamu memberitahuku. Ini bahkan lebih sakit karna aku tahu dari orang lain."

Shela ingin menangis. Bintang, tolong tarik dirinya pergi. Bulan, tolong hilangkan dirinya seperti kau sedang gerhana. Bumi, tolong telan dirinya hingga ke inti. Shela ingin menangis.

Shela pun tak sadar air matanya sudah membasahi pipi. Radit pun dengan sigap menghapus air mata Shela.

Radit paling tidak bisa melihat wanita menangis di depannya apalagi Shela, orang kedua paling spesial di dalam hidup Radit setelah ibunya. Walaupun tadinya Radit memiliki niatan untuk marah pada Shela, ia urungkan niatnya itu. Ia tak tega melihat wanita yang ia sayangi akan semakin menyalahkan dirinya.

"Aku tidak bisa melarangmu. Itu hak kamu, keputusan ada ditangan kamu," seru Radit bersikap biasa saja. Sengaja emosinya tak dikeluarkan. Radit tak tega melihat Shela semakin sedih.

"Tapi kita tidak putus, kan?" tanya Shela memeluk Radit.

"Tidak. Aku akan selalu menunggumu," jawab Radit membalas pelukan Shela.

Shela melepas pelukannya lalu menatap Radit dengan tetap berlinang air mata. Rasanya sungguh berat meninggalkannya.

"Ini hanya sementara, Shela. Hanya jarak dan waktu yang menjadi pembatas kita. Aku akan selalu menunggumu kembali," ucap Radit mengelus kepala Shela berharap ia tenang.

"Aku mencintaimu Radit." Shela pun kembali memeluk Radit. Kini semakin erat seolah tak ingin melepasnya.

"Aku yakin kamu adalah seorang wanita yang tidak akan bisa secepat itu berpaling, secepat itu meninggalkan, secepat itu mencari." Kata-kata Radit membuat sebuah makna yang tak akan pernah dipahami oleh Shela.

Tetapi ternyata tidak, seolah dua hati itu saling bersanding, saling seirama, dan selalu sejalan. Shela bisa memaknai satu persatu kata-kata Radit.

"Ya, aku bukan seorang wanita yang seperti itu."

Tatapan Radit seolah tak sanggup akan kepergian Shela. Dan tatapan Shela malah bertolak belakang, kata-kata itu seperti penuh akan kebohongan. Karena hubungan jarak jauh tidak akan berhasil jika hanya dengan janji-janji tapi juga butuh penepatan janji itu.

"Aku mohon, kamu sungguh-sungguh dengan perkataan itu, Shel. Aku mohon segera kembalilah." Radit mengacak pelan rambut Shela.

Shela tak sanggup menahan semua air mata yang sedari tadi ia bendung. Dan akhirnya turun membasahi pipinya itu.

Aku sanggup Dit menepati semua janji itu. Tapi mungkin aku tak akan pernah kembali lagi padamu. Bukan karena ada lelaki baru yang menemaniku. Tapi ini hanya sebuah penyakit yang menjadi permohonan itu tak akan kusegerakan. Dan aku mungkin takkan pernah bisa menatap matamu lagi, batin Shela, mencoba tegar dihadapan Radit.




————————END————————

Sambung Cerita Altair PaperlineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang