Aku beranjak pergi membawa strawberry yang kubeli untuk bibiku. Ya, aku yatim piatu yang menjadi parasit bagi bibi dan pamanku. Aku bahkan tidak mengetahui siapa orang tuaku. Kata bibi, mereka meninggal ketika aku masih amat kecil. Hanya kalung yang selalu kupakai inilah peninggalan dari ibu.
Aku mulai menjauh dari pasar. Langkahku amat lambat. Kurasa aku salah mengenakan gaun oranye ini. Tak apa lah, toh nanti juga sampai rumah. Di tengah-tengah perjalanan, seekor monyet tiba-tiba menyerangku.
Rupanya ia ingin mengambil strawberry-ku. Alih-alih mengambil strawberry yang kubawa, ia malah merebut kalung yang ada di leherku hingga lepas.
Tak kupedulikan rasa perih di leherku. Aku terus berlari mengejar monyet itu yang semakin cepat larinya. Tak kupedulikan lagi napasku yang tak beraturan, keringat yang bercucuran dan kaki yang mulai lelah berlari.
Hingga akhirnya aku berhasil menangkap monyet sialan itu.
"Huh, dasar monyet sialan. Beraninya kau mengambil kalung berhargaku," ucapku pada monyet tersebut yang kini hanya duduk diam. Aku tersenyum puas setelah mendapatkan kalungku dan saatnya pulang.
Tunggu.
Ini, di mana? Aku melihat sekeliling dan hanya ada pepohonan.
Aku tersesat?
"Hai, Mariposa!"
Aku terpelonjak kaget, monyet itu berbicara. Dia baru saja menyapaku.
"Hah?! S-siapa?" Aku masih menggenggam erat kalungku, sambil melangkah mundur menjauhi monyet itu.
"Jangan takut, aku hanyalah seekor monyet," ucapnya lagi.
"Di mana-mana, seekor monyet hanyalah seekor monyet yang tidak akan bisa bicara," gumamku, pelan.
Aku baru menyadari bahwa aku mundur terlalu jauh dan menabrak sesuatu.
"Awhh!" Aku meringis kesakitan.
Sebuah patung besar berada di belakangku, aku terbelalak menatapnya.
Mata patung itu melotot, membuatku ngeri sekaligus ingin tertawa, "Hei, jelaskan padaku apa maksudnya ini? Aku di mana?"
Monyet kecil tadi menatapku dengan pandangan mata menyebalkan, dia membuat senyum miring di bibirnya sampai kemudian berkata "Menurutmu?"
"Aku serius, jangan bercanda." Aku kesal. Monyet ini lama lama menyebalkan juga
"Ya ya, terserah. Baiklah sekarang aku akan menunjukanmu sesuatu dulu." Monyet itu berjalan di depanku dan sepertinya dia ingin aku mengikutinya.
Aku mengikuti langkah monyet sambil memperhatikan sekitar. Aku merasa asing dengan tempat ini. Monyet tadi berjalan layaknya seorang manusia, cara bicaranya pun seperti seorang manusia.
"Em, monyet. Kalau boleh aku tau, kamu akan membawaku kemana? Lalu masalah kalung, kenapa kamu mengambil kalung ini dari leherku? Kau tau? Itu membuat leherku sakit," ujarku meluapkan kekesalan terhadap monyet.
"Kau akan tau nanti, sekarang diamlah atau kamu ingin tertangkap. Aku harus membawamu pada seseorang," jelas monyet.
***
"Di mana ini?" tanyaku. Monyet tadi malah melompati gerbang dihadapan kami yang diselimuti oleh tanaman rambat.
Aku ditinggal sendiri? Hm, baiklah. Awas saja kau monyet. Kurang kerjaan sekali kau membawaku ke sini lalu meninggalkanku begitu saja.
Gerbang tiba-tiba terbuka. Aku cukup terkejut karenanya. Ditambah lagi beberapa orang menghampiriku. Hey, apa aku telah berbuat kesalahan?
Orang-orang itu mempersilahkanku masuk. Monyet itu kembali lagi, dan ia berkata bahwa aku tak perlu khawatir.
Aku menghela napas. Ini tak terlalu buruk, ada istana indah di dalam hutan belantara seperti ini. Sungguh menakjubkan.
Istana juga dilapisi emas, adapun air mancur dengan berbagai warna. Aku bisa mencium banyak aroma buah-buahan juga di sini. Apa aku sedang berada di surga? Oh God. Tidak mungkin ini terjadi. Bahkan aku masih bisa merasakan sakit ketika aku mencubit pipiku sendiri.
Tak terasa aku telah berada di dalam istana. Sesorang di depanku telah berdiri, perawakannya bak raja. Ia memakai mahkota.
Tunggu, dia punya sayap! Makhluk apa itu?
Apa aku sedang berada dalam cerita dongeng milik adikku? Tidak mungkin.
"Kemarilah," titah pria itu.
Aku mendekatinya dengan ragu-ragu. Pelan-pelan aku melangkah sembari mengamati gerak-geriknya. Wajahnya sama sekali tidak berubah. Menungguku sampai tepat di depannya.
Ia menyentuh pundakku, lalu beranjak menelusuri wajahku. Hingga akhirnya, manik matanya beradu lagi denganku. Tatapan dalam dan menyelidik. Seolah-olah sedang mencari sesuatu dari sana.
"Yang Mulia, Aku mengantar Mariposa ke hadapanmu. Kalung ini ada bersamanya," suara si monyet kembali menyadarkanku. Yang Mulia-pria yang di hadapanku-hanya melirik dingin si monyet. Sebelum matanya kembali bertemu pandang denganku.
"Kau sudah memastikannya?" ucap pria itu tak melepaskan tatapannya padaku.
"Sudah Yang Mulia, kalung miliknya asli, saya dapat merasakan kekuatan sihir yang kuat di dalamnya. Ditambah, dia bernama Mariposa," jawab si monyet lagi.
Aku hanya bisa terdiam melihat kejadian yang sedang berlangsung dihadapanku. Apa yang sebenarnya sedang terjadi?
"Berikan kalung itu kepadaku," kata si pria itu lagi.
"Baik, Yang Mulia." Si monyet dengan sigap menyerahkan kalungku. Aku bergidik ngeri, ketika wajah si pria tersebut menyeringai ketika kalungku ada di tangannya. Ia mengamati sambil terkekeh.
"Setelah sekian lama, akhirnya aku bisa kembali melihatnya." Ia terkekeh geli sebelum menatapku senang. "Mariposa, aku akan menghancurkan kalung ini."
Kalimatnya membuatku kaget. Apa maksudnya dia ingin menghancurkan kalungku? Tidak boleh! Itu kalung satu-satunya yg menghubungkanku dengan ibuku.
Aku segera berlari ke arah pria itu. Merebut kembali kalung berhargaku, "Kembalikan!"
Tapi dengan cepat ia menghentikanku dengan memeluk tubuhku. Wajah kami hampir beradu. Menyisakan sekian centimeter. Membuatku lagi-lagi terpaku menatapnya.
Semua berhenti ketika suara keras terdengar dari sebelah kiriku. Mataku menatap tidak percaya pada tangannya yang tadi menggenggam kalungku.
Kalungku yang tadi utuh telah berubah menjadi bulir-bulir pasir. Yang kemudian jatuh berserakan di lantai. Tidak, kalungku ... apa yang sudah dilakukannya pada kalungku.
"Kalungku ...," ucapku kehabisan tenaga.
"Kau sudah tidak memerlukannya lagi, Pengantinku." Suaranya yang dingin membuatku gemetaran.
"Apa maksudmu?" ucapku berlinangan air mata. Apa yang baru saja ia katakan?
"Mariposa, bukankah ini menyenangkan? Kau akan menjadi pendamping dari seorang Raja," kekehnya pelan. "Walau kedua orangtuamu dengan susah payah menyembunyikan keberadaanmu dariku. Hingga mereka mengorbankan nyawa. Tapi lihat, akhirnya kau kembali kepadaku."
Dia berkata apa? Mengorbankan nyawa? Apa maksudnya?
"Urgh ... kepalaku," ucapku sembari menyentuh keningku. Semuanya tiba-tiba seperti berputar.
"Ah, aku hampir saja lupa. Kalung tadi telah menyegel rupa asli dan kekuatan sihirmu. Sekarang aku telah melepaskan segel itu. Tenanglah Mariposa. Lebih baik kau beristirahat sekarang."
"Lepaskan!" Aku mencoba berontak, walau yang ada, pandanganku semakin berputar.
"Mariposa, ckck, sebaiknya kau mendengarkan saja nasihatku. Tidurlah. Pulihkan tenagamu, karena besok adalah hari pernikahan kita." Ia menyeringai sadis menatapku. Sedang tenagaku seolah-olah menghilang. Sampai akhirnya, mataku tertutup.
"Tidak, tidak mau!" teriakku.
Sebelum akhirnya kesadaranku menghilang sepenuhnya.
————————END————————
KAMU SEDANG MEMBACA
Sambung Cerita Altair Paperline
NouvellesWork ini berisi kumpulan cerita hasil sambung cerita oleh para member Altair Paperline dengan genre dan tema yang berbeda-beda.