Jumat 15 September 2017

8 15 0
                                    

"Vela sudah dewasa! Kamu tidak perlu mengkhawatirkan dia," ujar Leo tegas.

"Tapi Vela belum mengerti kehidupan yang sesungguhnya, Leo. Aku harap kamu mengerti," balas Mia sengit.

Mereka berdua terus saja beradu argumen di tengah heningnya malam. Membuat gadis remaja yang bersandar di balik tembok menutup rapat telinganya.

"Sampai kapan kalian mau seperti ini?" lirih Vela. Tangisannya pecah dalam diam melihat kedua orang tuanya yang selalu bertengkar.

Deru yang memburu keluar dari napasnya. Bulir keringat yang sebesar biji jagung memenuhi dahinya. Membuat jantungnya yang semula teratur menjadi ritme yang tak beraturan.

"Mimpi itu lagi," desisnya.

Vela segera menuju wastafel lalu mencuci mukanya. Sudah beberapa tahun silam kejadian itu terjadi. Tapi masih saja berhasil meninggalkan luka yang amat dalam. Sekarang tinggal ia sendiri. Sedangkan kedua orang tuanya sudah bahagia dengan pilihannya masing-masing.

Ironi memang, kenapa hidupnya terlalu tragis. Mengapa semesta tak adil dengannya? Sebenarnya apa salahnya? Hanya ingin keluarga harmonis saja tidak bisa.

Vela mendengus lalu menghela nafas kasar. Tak sengaja ia melirik ke arah luar jendela apartemennya. Disana ada seorang ayah dan ibu sedang menggandeng tangan anaknya. Figur keluarga yang selalu Vela idam-idamkan.

Hati Vela hancur, tak pernah sekalipun ia merasakan kehangatan dari sebuah keluarga.

Hampir saja air mata menetes dari matanya, tapi dengan segera Vela menyeka itu. Ia kemudian pergi ke toilet untuk mencuci muka.

Hari ini Vela telah berjanji untuk menemui teman-temannya. Ia harus bergegas untuk itu.

***

"Hai guys," sapa Vela.

Teman-temannya yang sedang menjepit benda berbentuk tabung berdiameter kecil itu pun melemparnya lalu bersalaman dengan salam khas mereka.

"Lama banget sih lo, Ve?" ucap Diana yang masih berada di sisi Vela.

"Ya biasa lah, ada kendala," ucap Vela asal.

Kami akhirnya bergabung dengan yang lain. Sedikit banyak Vela bisa tertawa di sana. Bertemu teman-temannya yang memang entah kenapa konyol, selalu membuat dia tertawa, atau bahkan tertawa sampai menangis.

Di tengah-tengah candaan mereka, terdengar suara pintu kamar Olin diketuk dan dibuka perlahan. Tak lama munculah sosok keibuan yang terlihat galak tapi sebenarnya asyik. Ibunya Olin.

"Nih, Tante bawain makanan buat kalian ya. Awas aja loh kalo gak abis," ucapnya.

Teman-teman Vela bersorak dan bergegas mengejar makanan yang sudah disiapkan. Sedangkan Vela justru terdiam.

Setelah Tante Rani keluar dari kamar, Vela justru memilih untuk menyendiri.

Reva, teman terdekat Vela, yang menyadari sikap Vela berubah pun menghampirinya.

"Kenapa Ve?" tanyanya dan memutuskan untuk duduk di samping Vela, menghiraukan anak2 lain yang masih asyik mengobrol dengan cemilan.

Vela menggeleng, mengatakan dengan sikap bahwa semuanya baik-baik saja.

"Terus kenapa gak gabung sama yang lain?" Reva masih saja bertanya dengan nada curiga.

Vela mendengus pelan. Tadi melihat tante Rani membawa camilan dengan rasa perhatian seperti layaknya seorang ibu, Vela jadi mengingat tentang ibunya dulu.

Ibu yang seharusnya menjadi pelindung, tempat berbagi serta mencurahkan isi hati tidak bisa Vela gapai lagi, rasa iri yang terkadang Vela rasakan hanya mampu ditutup rapat seolah semua baik-baik saja.

"Lo emang bisa bohong sama kita Vel, tapi diri lo ngga bisa dibohongin," ujar Reva sebelum akhirnya ia meninggalkan Vela kembali sendiri.

"Dan lo gatau apa yang gue rasa, Rev," lirih Vela.

"Gue temen lo. Temen dari lo masih jadi janin. Jadi lo gabisa bohong sama gue Vel," ujar Reva.

"Oke. Mungkin lo bisa bohongin kita dari perkataan lo. Tapi apa mata lo bisa?" lanjut Reva yang membuat jantung Vela seakan ditusuk oleh tombak tajam.

"Gue...," ucap Vela pelan.

"Gue iri! Kenapa mama gue nggak bisa kayak mama Olin? kenapa Rev?"

Reva bungkam. Ia memang tahu apa yang terjadi di keluarga Vela. Yang membuat Vela hampir sakit seperti ini. Ia bahkan sempat di rawat di rumah sakit jiwa karena keadaan mentalnya yang tak stabil.

"Sayang, kamu boleh anggap tante sebagai ibu kamu sendiri," ujar mama Olin yang sedari tadi ternyata memperhatikan mereka berdua. Termasuk dengan teman-temannya yang lain.

"Hidup emang nggak selalu indah sayang. Mangkanya kamu harus tetap berdiri dan kuat."

"Tapi... kenapa keluarga aku nggak bisa kayak keluarga tante?"

"Mungkin itu jalan yang kuasa kehendaki. Kamu hanya bisa berdoa dan pasrah. Tapi ingat ada satu hal yang harus kamu yakini. Rencana-Nya lebih indah dari yang kamu pikirkan."

Mama Olin memeluk Vela dengan erat. Rasanya nyaman. Hangat. Pelukan yang sangat dirindukan oleh Vela. Kasih sayang seorang Ibu. Dan keluarga yang harmonis.

"Terimakasih, Tante," lirihnya pelan.

Sambung Cerita Altair PaperlineTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang