CHAPTER 3

7.7K 750 9
                                    

Pukul 7 malam, Kemuning terlihat menghembuskan nafas panjang dari bibirnya. Hampir 5 bulan ia bekerja dengan Prasetyo, dan belum pernah satu kalipun ia pulang tepat waktu. Kalau kata Sarah, teman sekantornya. Nasib serkertaris itu berada di tangan atasannya, siap menjadi seorang serkertaris berarti siap menggadaikan waktunya. Dimana ada serkertaris pulang disaat boss sedang bekerja mati-matian!

Ditambah lagi, tidak sedikit kesalahan yang dilakukan olehnya. Maklum karena pekerjaan ini adalah pengalaman baru untuknya. Pras, cukup sabar menghadapi ketololan yang seringkali dilakukan oleh, Kemuning. Jadi, tidak mungkin kalau ia pulang lebih dulu disaat kemampuannya dalam bekerja belum dapat dinilai cukup baik. Kemuning menggerakkan otot lehernya, otot tangannya, lalu kembali menatap komputer untuk mengetik proposal yang diminta oleh Pras.

Pantas saja ada yang bilang hidup di Ibukota itu keras, tidak bisa mengandalkan siapapun kecuali diri sendiri. Terlebih, tekadnya yang tidak ingin terus menerus membebani Annisa dan Hartomo, sehingga rasa-rasanya ia tidak berani untuk sekedar mengeluhkan pekerjaannya.

Sebenarnya, Ia mulai mengerti mengapa Prasetyo bekerja seperti tak kenal waktu. Ia juga adalah karyawan baru, ditambah lagi perusahaan ini sedang membuka proyek hotel baru untuk kalangan menengah ke bawah, agar para pelancong dengan budget minim pun tetap dapat menikmati penginapan yang nyaman namun murah. Karena itu ia begitu bekerja keras saat ini, ia harus membuktikan kualitas dirinya pada perusahaan.

Telfon berdering, Prasetyo memanggil melalui intercom, "Iya Pak" jawabnya.

"Kemana jadwal saya besok?"

Kemuning, lekas menatap layar komputer, "Kunjungan ke resort yang di puncak Bogor, Pak. Lalu ada meeting dengan pak Edwin jam 5 sore di kantor."

"Dokumen yang diminta untuk meeting besok apa sudah selesai?"

"Belum Pak, sedang saya kerjakan sekarang."

"Baiklah, " jawabnya, "Ning, kamu sudah makan?" pertanyaan Prasetyo, membuat Kemuning terhenyak sesaat. Karena boss nya ini tidak pernah bertanya seperti itu selama 5 bulan mereka bekerja sama.

"Ning?" panggilnya lagi, membuat Kemuning tersadar dari lamunannya.

"Belum Pak, " jawabnya cepat.

"Kalau begitu, pesan makanan dua. Untukmu dan saya, kari laksa yang waktu itu pernah kamu pesankan untuk saya, apakah masih bisa buka di jam segini?"

"Sepertinya masih Pak, nanti saya hubungi terlebih dahulu apakah mereka masih bisa antar atau tidak."

"Baiklah," jawab Pras, mengakhiri pecakapan.

Begitu pesanan datang, Pras dengan tangkas keluar ruangan dan membayar semua makanan yang mereka pesan. Kemuing membantunya menyiapkan makanan mereka, mengambil mangkuk dari pantry, membuatkan teh manis hangat dan mengantarkannya ke dalam ruangan beliau. Entah mengapa terkadang ia merasa menjadi seorang serketaris tidak berbeda dengan pekerjaan seorang babu atau seorang istri.

Mencatat jadwal kerjanya yang padat. Mengingatkannya setiap hari dengan siapa ia bertemu, membantu membayar dan mengecek tagihan kartu kreditnya, tagihan bulanan apartmentnya. Menyiapkan makan dan minum saat ia memintanya. Bahkan terkadang membantunya mengurus laundry pakaian pribadinya. Apakah ini benar atau memang seperti ini tugas seorang serketaris!

"Ambil makananmu, kita makan bersama saja disini."

"Tapi Pak," Kemuning salah tingkah dengan permintaan mendadaknya Pras.

"Lekas," katanya dingin. Membuat Kemuning, mau tidak mau menurutinya.

Mereka duduk di sofa, Pras, sudah membuka sebagian kancing atas dari kemejanya. Tampaknya ia benar-benar kelelahan saat ini.

"Dimana rumahmu?" tanyanya.

"Daerah Roxy Pak," jawab Kemuning. Ia mengaduk-aduk laksa kari miliknya.

"Tinggal dengan orang tua?" Pras, melirik sekilas sebelum melahap makanannya.

"Saya tinggal sendiri Pak, orang tua saya berada di kampung" ya memang, setelah ia mendapatkan gaji pertamanya hal yang pertama Kemuning lakukan adalah mencari tempat tinggal. Dia tidak ingin tinggal bersama Annisa dan Hartomo. 

Ia mengangguk-angguk, melahap makanannya dengan cepat.

"Sudah berkeluarga?" tanyanya lagi.

"Belum Pak,"

"Kalau begitu pasti sudah punya pacar."

Ia tersedak, membuat Prasetyo menyodorkan gelas minuman kearahnya. "Maaf," gumam Kemuning pelan. 5 bulan bersama Kemuning, dengan durasi waktu yang tidak teratur membuat mereka berdua sering berada bersama dalam keadaan dan kesempatan. Pras tahu, Kemuning, bukanlah wanita seperti kebanyakan wanita. Dimatanya, Kemuning, terlihat polos dan sopan. Cantik dan keibuan.

"Oh, saya hampir lupa. Akhir bulan kita ke Yogya, kamu bisa segera atur untuk penerbangannya. Kalau bisa penerbangan pagi,"

Kemuning menatap, Pras, tak percaya. Baru sebentar saja ia meninggalkan kota itu, haruskah secepat itu kembali kesana? Ia menelan ludah, menunduk.

"Baik Pak," jawabnya pelan.

-----Bersambung----

tinggalkan jejak yah, 

komentar membangun saya harapkan... :)

KEMUNING - SUDAH TERBIT YA!! https://play.google.com/store/books/details?id=eqYJTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang