BAYANG

54 14 11
                                    



Jika kematian itu nyata. Maka beberapa jam lagi kami akan menghadapinya. Serpihan-serpihan masa lalu yang ku alami tak juga mau pergi dari kepalaku. Seperti kaset yang diputar berulang-ulang, tak bisa distop dengan satu tombol. Beginikah rasanya? Mati begitu menegangkan karena tau ia segara datang, menghampirimu secara perlahan dengan kepastian. Sorot mata ragu yang ditunjukan puluhan pasang mata membuat tanganku tak berhenti bergetar. Mengambil minum untuk menghilangkan haus pun aku tak mampu. Entah seberapa parah rasa takut yang melandaku. Jika aku berutung, maka aku akan mati di pangkuan orang yang paling kucintai dan mencintaiku. Jika!

**


Lihatlah dirimu,kau tak ubahnya seongok daging berpakaian putih abu-abu. Tak bersuara. Tak berhati. Tak hidup. Kau hanya mahluk yang dibiarkan berjalan, bergerak, dan tumbuh dengan segala hinaan, cacian, dan seribu luka. Bahkan tak ada seorangpun yang berharap berdiri disampingmu walaupun ratusan piala menghiasi almari, walau sederet piagam berbaris rapi, dan walau gepokan uang ditangan tersenyum iri. Yah, karena kau hidup bukan untuk dirimu, tapi hanya untuk tetap bernafas dan mematung di balik tubuh Ibumu.

Zia tersenyum sinis pada bayangan tubuhnya di cermin. Kembali Zia mengamati dirinya.

Zia menggerutu dalam hati, tangannya meraba-raba sekitaran wajahnya. "mengapa mereka tidak menyukaiku??" Wajah Zia mengeras, rahangnya kaku. Seketika itu juga ia membuang muka pada bayangannya sendiri. Mengambil tas selempangnya. Rambut panjangnya terkibas menuju sekolah.

Jalan ini adalah jalan yang paling dibencinya. Walaupun Zia sangat suka pengamen dan pedangang jalanan. Jalan ini jalan yang selalu membuatnya takut. Takut dengan apa yang akan dilaluinya hari ini. Mungkin luka. Mungkin sedikit luka. Mungkin selalu terluka. Zia lebih suka berdiam diri di kamar, mengamati wajahnya dalam cermin, dan berimajinasi dengan setiap lekuk tubuhnya yang mungil. Mata Zia terpejam, seketika terbuka saat dilihatnya si sopir sedang mengamatinya di balik kaca spion. "lagi-lagi supir baru", gumam Zia tak bersuara. Tapi dia tidak peduli, seperti biasanya. Bahkan dia tak berniat untuk tau nama supir itu, dari mana asalnya, atau bahkan jika orang itu hanya menyamar untuk sekedar mencuri di rumahnya, Zia tidak peduli. Kembali Zia menutup matanya, bukan untuk menghilangkan kantuk, tapi hanya untuk sekedar menikmati suara jalanan yang terkadang ia rindukan di waktu malam saat ia terjaga. Zia suka suara keramaian, tapi tidak untuk berada di antara keramaian. Alasan yang aneh untuk seorang gadis menjelang usia 17 tahun yang biasanya gemar hura-hura di lantai disko, sebuah konser, atau hanya untuk sekedar nonton bola yang dimainkan para pemain naturalisasi yang tampan. Zia tidak suka itu semua.

" sudah sampai non", si supir bicara dengan suara terbata, Zia bisa membayangkan tubuh si supir yang berkeringat dingin dengan tangan yang gemetaran tak karuan.

Tak ada kata yang keluar dari bibir merah si nona. Dia hanya segera keluar dari mobil mewah yang selalu dibencinya. Ia ingin segera terbang meninggalkan mobil yang tak ingin diketahui merknya.

Pagar berwarna hitam itu terbuka. Dengan dua orang penjaga yang siap memborgol siswa berandal maupun siswa yang datang terlambat. Dua orang penjaga tersenyum pada Zia, walaupun tak pernah sekalipun Zia membalas senyuman mereka. Mungkin karena itu pula Zia sering mendengar mereka menggunjingkan dirinya, dengan sebutan si "Nona besar". Itu gunjingan?, Ya, Bagi Zia itu adalah sebuah gunjingan yang membuat kupingnya panas dan terpaksa harus menyumpalnya dengan suara musik dari Mp3.

Perjalanan Zia menuju kelas terhenti. Seseorang yang katanya tidak sengaja, telah menumpahkan cat lukis yang sedang dibawanya ke tubuh kecil Zia yang terlihat akan rapuh dengan sekali senggolan.

"sorry ya Zi, gw bener-bener nggak sengaja, lo sih jalannya ga liat-liat", siswi itu justru terlihat sengaja melakukannya, dengan gelagat pura-pura bodoh.

MiRroRsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang