Lagi, aku harus mendorong pintu itu untuk dapat keluar dari aula misteri yang sudah nyaris membuat darahku mendidih dan membeku dalam waktu bersamaan. Dan aku bersumpah, aku hanya mendorongnya seperti mendorong pintu kamar mandi sekolah yang terkadang macet. Aku merasakan di balik punggungku tatapan liar dengan pancaran ngeri yang tak bisa ku bendung. Tapi kini, setelah Ryu menarikku, dan aku hanya terpejam sesaat. Aku tidak berada dalam ruangan kastil yang luas tempat aku masuk tadi. Ruangan ini seperti kamar hotel kelas VIP yang pernah Mommy sewa saat kami liburan ke Bali. Dinding yang elegan dengan warna putih gading, lampu oranye di setiap sudut ruang, kursi-kursi minimalis dengan karpet yang berwarna abu-abu kontras dengan segala ornamen yang indah dan menyejukan. Aroma lavender membuat otot-otot tegangku menjadi kendur. Sedikit bagian ketakutan itu terkikis dengan suasana baru yang menyejukan ini.
" gue nggak mau banyak omong Zi, gue akan jelasin satu kali dan gue harap lo ngerti", tanpa ku sadari Ryu sudah berada disalah satu kursi sofa dengan tangan yang berlipat. Sedangkan Antonio dan si lelaki muda sedang menikmati makanan dan minuman di atas meja sambil terus memperhatikanku yang diam tetap berdiri kaku.
"oke" jawabanku terlalu ringan bila dibandingkan dengan semua histeris yang ku rasakan.
"gue nggak tau kenapa harus lo yang dapet tugas ini, jadi please jangan tanya tentang hal ini", Ryu seperti dapat membaca sederetan pertanyaan di buku otakku.
"yang gue tau, lo punya tugas yang membuat lo harus memilih "membunuh" atau "dibunuh"....., dan itu adalah peraturan pertamanya" Ryu mendesah dengan ragu saat akan melanjutkan ucapannya.
"nggak ada alasan untuk menolak, mati atau membunuh? Itu pilihannya. Karena sekarang kita akan berburu. Memburu benda yang hilang. Lo pasti ingat cermin pertama yang kita liat waktu datang tadi. Sisi-sisi cermin itu hilang, atau lebih tepatnya di curi" Antonio tersenyum menatap Ryu. Sebuah senyuman yang merupakan komunikasi yang tak bisa diketahui siapapun kecuali mereka.
"lo nggak lagi ngehayal kan Ry...yu", kurasa tatapan mataku membuat Ryu semakin muak. Ia langsung bangkit dari duduknya, berjalan ke arahku.
"lo masih berfikir semua ini hanya mimpi?", kini kedua tangannya sudah mencengkram pundaku. Matanya tajam menusuk kornea mataku yang terasa perih. Entah mengapa, saat ini tatapan itu justru memabukan, membuatku larut untuk mengharapnya lagi.
"lo nggak cerita, gimana caranya kita bisa tiba-tiba muncul di ruangan batu itu dan sekarang kita ada disini, gue nggak ngerti dengan semua kegilaan ini Ryu", suaraku parau nyaris seperti bisikan. Tangan itu sudah tak lagi mencengkramku.
"Zi, Semua yang nyata dan lo liat selama ini, nggak semuanya benar-benar nyata, ada beberapa hal yang nggak bisa dimengerti, dilihat, atau diketahui manusia. Cermin misalnya, itu hanya sebuah benda yang memantulkan apapun yang ada dihadapannya. Tapi nyatanya, semua nggak semudah itu. Cermin yang membawa lo, gue, Antonio, dan Kevin ke tempat ini. Kita juga nggak ngerti Zi. Kita hanya terjebak disuatu kondisi yang mengharuskan kita untuk tetap hidup. Gue udah 2 tahun dapat tugas ini, begitu juga yang lain. Entah berapa nyawa melayang di tangan kita" Ryu menelan ludah. Menggandengku ke sofa. Dan berhasil membuatku semakin kaku.
"selama beberapa tahun ini, kita semua dengan sekuat tenaga mencari sisa bagian cermin yang dicuri, 9 bagian udah ditemuin, 3 bagian cermin itu kita temuin sendiri-sendiri, gue nemuin di Kenya, Antonio nemuin di Perancis , dan Ryu nemuin di Itali, 6 bagian yang lain di temuin pencari yang lain, yang tadi lo liat di Ruang Temu, mereka juga Pencari" suara kanak-kanak masih terdengar jelas di setiap kata yang di ucapkan Kevin pada ku. Seperti seorang anak yang menceritakan tugas sekolahnya pada teman.

KAMU SEDANG MEMBACA
MiRroRs
FantasiaZia adalah seorang pencari. Pencari yang harus menjalankan misi penangkapan para pencuri bongkahan Cermin Utama. Cermin ajaib yang dapat menghancurkan dunia dalam seketika.