KEMATIANKU

4 2 0
                                    

***

Panasnya begitu menyengat. Kulitku seperti daging panggang kering yang siap-siap gosong. dua orang di belakangku tak kalah kepanasan. Beberapa kali ku dengar Ryu mendesah kesal. Kadang bergerutu tapi tak jelas apa yang diucapkannya. Kevin hanya diam melihatku yang memperhatikan orang-orang yang keluar masuk Masjid. Mungkin panas Mesir hari ini sekitar 39 derajat celcius. Sangat panas memang, bagi orang yang terbiasa hidup di bawah AC. Aku sendiri bingung sekaligus kagum melihat pemandangangan Masjid Abu Bakar Ash-Shidiq, sebuah panorama yang indah dengan umat Muslim yang keluar masuk tak berhenti.

"emang apa yang lo rasain disini?", akhirnya Kevin memecah kesunyian kami, di tengah keramaian halaman Abu Bakar Ash-Shidiq. Aku berbalik, menatap kulit bulenya yang mulai memerah.

"emang apa yang seharusnya gue rasain?", Ryu melotot kesal mendengar ucapanku.

"heh, lo fikir kita lagi main petak umpet?", aku rasa kejiwaan Ryu bermasalah, jika main petak umpet seharusnya dia bersembunyi, dan dengan sangat senang hati aku akan menerkamnya dengan tangan monsterku.

"konsentrasi, dan lo inget ada seseorang yang sedang lo cari, lo pastiin apakah orang itu ada disini?" aku tidak begitu mendengarkan ucapan Kevin. Aku memperhatikan gerak bibirnya. Aku frustasi karena tak ada satu pun bahasa belanda yang ku pahami.

"JADIII?", Ryu mengingatkanku dengan pernyatan Kevin.

"Oke", dengan enggan aku membalik badan dan memperhatikan mereka yang keluar masuk Masjid itu. Huh... melelahkan ternyata. Tapi kelelahan itu hilang. Ada magnet yang menarikku. Tatapan mataku tiba-tiba tertuju pada seorang lelaki tua yang sedang berjalan keluar dari Masjid. Dia tidak terlihat seperti orang Mesir. Pakaiannya jelas bukan pakaian yang seperti kulihat pada lelaki lainnya. Mirip pakaian lelaki India yang sedang melakukan Ritual pernikahan. Tanpa berkata apa-apa pada Ryu dan Kevin, tiba tiba kakiku melangkah, mataku tak lepas memandang lelaki tua yang berjalan lesu itu. Ku lihat beberapa orang memperhatikanku. Sampai akhirnya aku berhenti di hadapan lelaki itu yang menunduk, menghentikan langkahnya, namun tetap menunduk.

" kau datang?" suaranya mengagetkanku, apakah dia juga Pencari? Mulutnya bergerak tidak seperti suaranyanya.

"ya", jawabku tak mengerti dengan keadaan sinting ini.

" kau mau aku mengembalikan batu ini?", lelaki itu menunjukan sebuah bongkahan batu yang memiliki pantulan. Tak salah lagi, itu adalah bongkahan batu cermin yang hilang. Aku mendengar seseorang berdesis di belakangku, menahan amarahnya.

"ya, itu tugasku" jawaban yang terlalu singkat mungkin, tapi aku yakin bapak tua itu mengerti. Aku melihat beberapa orang berbisik memandangi kami.

"bagaimana jika aku tidak mau?", pertanyaan yang membuatku terhenyak, sebelumnya orang itu terdengar ramah, tapi tidak kali ini. Nada suaranya sinis, tajam, menusuk. Membuat lidahku kelu, membuatku tak bisa menjawab pertanyaannya.

"apa kau akan membunuhku, seperti yang di lakukan dua orang di belakangmu terhadap yang lain?", lelaki tua itu menatap tajam ke belakang tubuhku. Kudengar mereka berdua melangkah mendekatiku.

"berikan batu itu, Anda akan selamat", jawabanku menghentikan langkah orang-orang dibelakangku. Jawaban yang ngawur mungkin.

"apa yang Munaina katakan padamu?, suaranya mulai datar.

"Munaina bilang, ini adalah tugas berat yang hanya bisa dilakukan olehku, sepertinya aku punya isyarat yang tidak dimiliki Pencari lain" aku berusaha berkata dengan baik untuk menutupi segala kedustaan yang kubuat.

"kau tau aku juga seorang Pencari ?" tatapannya menyelidik

"ya", jawabku seringan mungkin. Aku tak mau ada keributan di tengah-tengah keramain yang menyengat seperti saat ini.

"aku tau kau akan datang, apa kau percaya aku juga memiliki isyarat yang lain?, aku bisa melihat masa depan. Aku melihat kau datang, aku melihat kematianku saat aku melawanmu, dan aku juga melihat kematianmu suatu saat nanti" suaranya begitu santai, ada nada mengancam di sana. Nada yang membuatku sangat tegang. Nada kematian yang mencekam.


"o..ya, jadi apa yang Anda pilih?" aku tak ingin ketakutanku mengalahkan diriku. Aku akan membuat Bapak tua ini segera menyerahkan batu itu.

"kau tidak mau tau tentang kematianmu?" Bapak itu terlihat lebih bersehabat, walau ada maksud tersembunyi di dalamnya.

"aku tau, aku akan mati, kau juga sepertinya, jadi apa yang perlu di pertanyakan?" , menggunakan kata kau mungkin akan membuatnya lebih mempertimbangkan semua ini. Aku ingat pernah mendengar kalimat sejenis ini dalam film Action, aku memang merasa seperti dalam adegan film. Lelaki tua itu melotot padaku.

"kau yakin akan membunuhku?", tanyanya tak lagi santai.

"ya", jawaban singkat ini mempermudah diriku untuk membohonginya dan membohongi diriku sendiri.

"para pencari lain ketakutan saat ku katakan mengenai kematian mereka, ku beri tahu cara agar mereka tidak mati dengan melepaskanku, dan kau tidak tertarik?, itu sangat aneh"

"JADII?" aku mengikuti cara Ryu bicara saat mengatakan pertanyaan yang sama.

"antar aku ke suatu tempat, dan kau akan memiliki batu ini?", lelaki itu terlihat agak licik, namun kubiarkan segala cara dilakukan olehnya.

"kemana?", kulihat seseorang membawa kamera dan mengamati sekitaran Masjid. Kelihatannya ini memang bukan tempat yang tepat seandainya dia ingin melawan dan membunuhku. Lelaki tua itu tidak bodoh dengan membiarkan banyak saksi melihat kematianku di tangannya.

" Sindu, Pakistan" jawabannya semakin santai, namun tetap memperhatikan gerak gerik wajahku.

"baiklah, kami bertiga tidak keberatan", kupikir saat dia tiba-tiba ingin menyerang nanti, dia akan mempertimbangkan melawan dua orang lelaki di belakangku ini. Dia tau mereka pernah membunuh. Kurasa ini cukup untuk mengancamnya.

"tidak, hanya kau dan aku, itu pilihannya", lagi-lagi orang ini memberi pilihan, aku benci memilih. Apa ada pilihan lain selain dua pilihan itu. Mungkin mati saja di tempat menawan ini.

"baik", entah apakah ada jawaban lain yang lebih tolol dari jawabanku saat ini. Kurasakan seseorang menyentuh pundakku. Aku berbalik. Itu tangan Kevin. Ia menggeleng tanpa suara. Aku hanya tersenyum dan mengikuti bapak tua itu menuju belakang Masjid. Kakiku bergetar, namun ada keyakinan disetiap langkahku.


Aku memejamkan mata saat bapak tua itu menyentuh tanganku. Tak begitu bernyali untuk melihat keanehan yang akan terjadi. Dan dalam sedetik. Kini kami lagi-lagi berada di tengah keramaian. Ini sejenis pasar malam atau pekan raya. Hanya orang-orangnnya yang berbeda, mereka orang-orang Pakistan.

"bisa Anda berikan batu itu sekarang?", tanyaku tak lagi bertele-tele.

"kau sungguh tak mau tau tentang kematianmu?", matanya menyelidik melihat ke wajahku.

"tidak", karena aku yakin kematianku adalah kematian yang paling tidak diinginkan, karena aku lahir dengan segala kemalangan yang mengelilingiku. Kematian bukan sesuatu yang lebih buruk saat ini.

"ini", Bapak tua itu memberikan batunya dengan enggan. Matanya terus memandangi batu yang kini telah berada di tanganku.

"Terimakasih", jawabku lirih dengan memberikan senyum pengecutku padanya.

"kau gadis yang luar biasa, tapi nasibmu sungguh malang, kau akan mati di tangan pembunuh yang paling kejam" ia bicara sambil mengepuk-ngepuk pundakku. Aku tak menjawab. Hanya ada berbagai bentuk yang muncul dalam benakku. Bentuk tubuhku yang mati tak bedaya, dengan darah berceceran dimana-mana dan seorang lelaki berkumis dengan samurainya yang tersenyum bahagia.

Lelaki tua itu pergi. Membawa derita yang paling menderita di banding derita lain yang pernah ku alami. Kini aku benar-benar takut. Rasa takut yang membuatku tak ingin dilahirkan. Membuatku ingin bunuh diri. Membuatku lunglai. Dan keramaian ini menjadi sunyi. Tak ada atas, tak ada bawah, tak ada kanan, tak ada kiri. Semua kosong , hampa. Hanya ada diriku dalam kekosongan itu. Kekosongan itu memudar diisi gelap. Kini gulita tak bisa ku tolak. Nanar tak tertahan dalam benakku. Dan aku tak ingat lagi apapun yang terjadi setelah itu.

MiRroRsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang