BUKAN DUNIAKU II

18 9 3
                                    

Dengan bodohnya, ya sangat bodoh. Aku meletakan kedua telapak tanganku di samping kanan dan kiri garis pintu. Di bagian yang kusentuh tidak ada bekas cetakan telapak tangan lain. Aku yakin mereka yang membuka pintu ini tidak sependek aku. Dengan tidak yakin, kutelan ludahku, ku raba dengan halus permukaan pintu itu. Dengan tanpa disadari, aku sudah memejamkan mata dan mendorong pintu dengan sekuat tenaga. Suara gesekan batu terdengar nyaring di telingaku. Ku buka mataku perlahan. Aku hampir saja melepaskan tanganku saat kulihat pintu di hadapanku terbuka. Aku mendongak. Takjub sekaligus bingung. Bercampur dengan segala kegilaan yang kualami hari ini. Mataku kembali tertuju pada wanita yang berada di singgasananya, sambil kudorong tubuhku kedepan memasuki aula menyeramkan dengan puluhan pasang mata asing di hadapanku.

Aku tak bisa melangkahkan kakiku lebih jauh. Tidak sanggup lebih tepatnya. Bulu kudukku berdiri tegak bagai tentara dengan komandonya. Peluh menetes tak terbendung dari setiap pori lekuk kulitku. Aku hanya bisa diam. Mematung seperti Vampire. Atau benar-benar menjadi patung untuk bisa menerima semua mimpi buruk ini.

"Zifara?", wanita separuh baya itu tampak anggun sekaligus menakutkan, menyebut namaku seperti para Tuan yang memanggil budaknya untuk dijadikan persembahan pada roh penasaran. Aku gemataran.

"lihatlah, putriku yang cantik ini lebih hebat dari kalian, dia berhasil membuka pintu itu dengan sempurna hanya dalam hitugan detik, sungguh luar biasa", kudengar beberapa orang dikelompok kiri mendesah. Wanita menakutkan tadi berjalan dengan perlahan menghampiriku. Ia memperhatikan bajuku yang bernoda warna darah. Kemudian dia menuntun langkahku ke bagian depan ruangan ini. Tangannya terasa seperti setrum yang menyetrum kesadaranku untuk menuruti apa keinginannya. Ia menempatkanku tepat di bawah singgasananya. Menghadapkanku pada dua kelompok asing yang membuatku nyaris pingsan. Ku lirik laki-laki kurang ajar yang telah membawaku ke tempat ini. Wajahnya tampak kaku. Cuek. Dan... aku melewatkan satu hal, dia lumayan tampan. Manis namun keras.

"Ryu... kemarilah", suara wanita itu tak lagi lembut. Ia sangat tegas dan berwibawa. Sungguh aku merasa dia seperti Cleopatra. Lelaki yang dipanggilnya Ryu itu berjalan dengan wibawa yang tak pernah kulihat sebelumnya. Menundukan kepalanya ke arah si Cleopatra yang berdiri anggun di sebelahku.

"kau melakukan tugas dengan baik sobat", senyumnya merekah. Aku merasa ada kedekatan yang sangat diantara mereka. Walaupun Ryu tetap menunduk patuh dengan rambutnya agak basah dengan peluh.

"sekarang, apa kau mau melanjutkan tugasmu?" kulihat penolakan terpancar di wajah Ryu.

"Haruskah? Aku lagi?" alis tebalnya terangkat, kepalanya tidak lagi menunduk. Apa-apaan ini, kenapa aku jadi suka memandangi wajahnya?

"Bisakah seseorang menjelaskan sesuatu padaku?", entah aku dapat keberanian dari mana untuk mengutarakan kata-kata itu.

"Oke sayang, seseorang akan membantumu nanti, kau akan punya tugas yang luar biasa untuk kau lakukan sendirian, jadi tentu saja akan ada yang membantumu, benar Ryu?", aku mendengar ucapan itu sambil memperhatikan dua kelompok orang yang menatap tajam ke arahku. Mereka terdiri dari sekitar 150 atau 200 orang dengan fisik yang berbeda, bule, sipit, negro, dan mungkin ada yang lainnya yang tak kuketahui sebelumnya. Satu hal yang aku yakini, mereke semua laki-laki. Sepertinya kemalanganku akan sangat sempurna.

"Tidak Munaina, ini tidak adil buat ku", oke, sekarang aku tau namanya Munaina. Nama yang aneh dan tidak pernah kudengar sebelumnya.

" mungkin aku butuh beberapa orang", aku melirik pada Munaina sekarang. Menunjukan tampang takut dan berharap ku padanya. Setidaknya ini tidak akan membuatku harus terus berdua dengan Ryu yang jelas-jelas tidak menyukaiku. "apa kau tidak bisa melihat kebenciannya padaku? hei Munaina!" aku hanya bisa bergumam dalam hati, berharap dia mendengarnya.

"Bodoh", jelas aku mendengar suara itu terlontar dari mulut Ryu yang kemerahan. Walaupun saat mengatakannya dia tak menatapku, aku tau ia sedang bicara padaku. Ini sungguh menyakitkan.

"Oh, tentu sayang, mungkin kau bisa mengutarakan apa yang kau inginkan, apapun itu", Munaina menyentuh tangan kiriku dengan perlahan.

"katakana saja", bujuknya padaku yang masih kaku memandang Ryu.

"yah, mungkin ada 2 atau 3 orang lagi yang bersedia membantuku yang bodoh ini untuk menjelaskan apa yang sedang terjadi". Aku tulus mengatakan diriku bodoh. Setidaknya aku memang bodoh saat tidak berkutik diajak ke dunia gila ini oleh Ryu.

"Heem,baiklah, kau boleh memilih 2 orang lagi, silakan", Munaina tersenyum bahagia sambil mempersilakanku untuk memilih. Ini pilihan sulit. Karena aku sama sekali tak tau apa yang harus aku pilih. Aku hanya berusaha mencari tatapan mata yang dapat membuatku merasa dilindungi. Tatapan yang tak di berikan Ryu padaku. Aku terhenyak saat kulihat seseorang yang kukenal.

"Antonio?", suaraku serak. Kuyakinkan diriku untuk tidak salah mengenali orang. Benarkah dia Antonio. Seorang aktor laga keturunan Perancis yang akhir-akhir ini sering dibicarkan di Infotaiment karena telah merambah ke perfilman Internasional?

lelaki itu hanya mengangguk tak bersuara.

"apa kalian saling mengenal?", Muniana bertanya seolah-olah aku adalah model cantik yang dapat bertemu dengan aktor besar di suatu pekerjaan.

"Tidak, tapi sepertinya aku akan memilihnya, karena dia pasti bisa berbahasa Indonesia", apa alasanku masuk akal?

" Dan?", Muniana terlihat sangat tidak sabar melihatku yang kebingungan.

" Dia ", aku menunjuk seorang anak muda. Dia lebih muda dari Antonio yang aku tahu ia berusia 27 tahun, aku pernah melihat Zodiaknya di ramalan bintang majalah. Lelaki muda itu tampak polos dengan tatapan mata yang tak kalah tajam dengan Ryu.

"lo lagi cari pacar?", pertanyaan Ryu membuatku gusar, memangnya aku harus memilih lelaki tua? Atau lelaki negro?

"mugkin lebih baik jika bicara dengan lelaki yang tidak beda jauh umurnya denganku", aku mengabaikan tatapan Ryu yang terus menghujamku. Aku hanya memandang Munainan dengan tatapan lugu untuk segera menyudahi semua kebingungan ini.

"baiklah, sekarang kalian ber 4 boleh pergi dan menjalankan misi kalian". Kata "Misi" di telingaku seperti semburan lapindo yang tak pernah dapat dibendung ketakutannya. Kata itu membuat daftar kedua, dari semua kegilaan ini dan dari sederetan pertanyaan yang akan kuajukan pada 3 cowok yang sekarang sudah berjalan menuju pintu, melirikku ragu untuk membuatku bergerak mengikuti mereka. Mata-mata lainnya tetap diam, dalam kebencian dan segala rahasia yang tak bisa aku mengerti.

MiRroRsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang