PERASAAN APA?

14 7 0
                                    


Ada kemarahan luar biasa dalam diriku. Entah apakah aku demam, meriang atau apapun itu. Yang jelas saat ini kulitku memanas. Nafasku memburu. Menuntut sesuatu yang aku tak tau apa itu. Ketakutan itu hilang. Ditelan gelombang amarah yang seolah bagai Tsunami yang ingin menghanyutkan tubuhku. Otot-ototku mengeras. Terdengar nyaring di ruangan hening ini, suara gemeletuk gigiku yang tak terkendali. Aku meremas rok abu-abu pendekku. Tetap berdiri dihadapan Ryu yang lelap tertidur. Sesuatu.... Sesuatu benar-benar menggoncangkan tubuhku. Sesuatu yang tak kulihat, tapi jelas dapat kurasakan. Ia mendorongku. Mendorong karena penolakkanku terhadap apa yang sedang terjadi. Aku marah... aku marah pada kemarahanku sendiri. Dan tiba-tiba matanya terbuka, dengan sigap menyentuh kedua pundakku dengan tatapan heran dan bingung yang aneh. Membuatku seperti boneka yang harus di pencet tombolnya agar dapat berbicara.

"Sa...sa..kit", ucapku dengan terbata-bata.

"tarik nafas... tutup mata lo", tangan kanannya menutupi kedua mataku. Tangan kirinya dengan lembut tetap berada di pundakku. Aku mendesah. Penolakan itu jelas terasa dalam tubuhku. Seperti magnet yang bertolak belakang. Seperti air dan api. Di satu sisi kemarahan itu nyata. Di sisi lain, aku tak mengerti dan berusaha menolaknya. Tanganku bergetar, bergerak ke arah depan dan menemukan pinggang Ryu yang tetap berdiri dihadapanku, walau aku tak melihatnya. Hantaman itu semakin dasyat. Mendobrak. Memberontak sejadi-jadinya. Aku seperti perang dengan diriku sendiri. Sampai akhirnya. Aku memeluknya. Memeluknya dengan sekuat tenaga. Kurasakan darahku seperti turun dari ujung kepala, menggelitik di tenggorokkan, turun dan menghilangkan sesak didadaku, dan melenturkan otot-otot kakiku. Sekarang tinggal diriku yang diam memeluk Ryu, dengan dua tangan terbuka yang tak membalas pelukanku. Saat sadar, aku segera melepaskannya, mundur sejauh yang ku mampu.

"apa yang lo rasain?" suaranya lebih lembut dari sebelumnya.

"gue... gue nggak tau" aku menggeleng. Menyadari rambut panjangku lepek karena terus berkeringat, walaupun ruangan ini ber AC.

"certain sebisa lo" jelas itu sebuah perintah.

"gue ngerasa,ada sesuatu.. sesuatu itu maksa gue untuk ngelakuin sesuatu, gue nggak ngerti", suaraku benar-benar terdengar frustasi. Ku harap Ryu tidak memperhatikannya.

"lo akan terbiasa nanti, lo nggak apa apa, lo nggak perlu khawatir, sekarang mending kita makan dulu" ucapan itu mendinginkan otakku yang memanas. Tapi hangatnya masih terasa dan membuatku hanya mampu diam.

"emang sekarang jam berapa?" tanyaku polos. Tadi pagi aku hanya sarapan roti. Seharusnya sekarang aku sudah makan siang.

"jam mana?" jawabnya santai, sambil duduk kembali di tempat sebelumnya.

"maksud lo?"

"disini sekarang jam 8 lewat 5 malam, di Jakarta masih jam 11 lewat 51 menit siang", tangannya meraih gagang telpon dan mulai bicara dengan seseorang dengan Bahasa Inggris. Tapi anehnya aku mendengarnya dengan bahasa Indonesia. Ia sedang minta makanan. Ternyata ini kamar hotel. Ku lihat ada 2 pintu. Pintu keluar dan pintu kamar, mungkin.

"lo ngomong pake bahasa Inggris?" aku merasa sangat bodoh menanyakan hal ini. Seperti gadis kampung yang hanya bisa bilang "oke".

"lo fikir orang Hawai mau belajar bahasa Indonesia?" suara cetus itu kembali lagi terdengar di telingaku. Dia jenis orang yang menyebalkan.

"oke... jadi sekarang kita di Hawai?, dan jelas-jelas yang gue denger lo ngomong pake bahasa Indonesia, walaupun gue liat bibir lo ngomong pake bahasa Inggris"

"gue fikir lo udah tau, lo nggak merhatiin waktu Kevin ngomong?, dia pake bahasa belanda, tapi lo dengernya dia pake bahasa Indonesia kan? gue juga nggak tau gimana jelasinnya, mungkin itu salah satu bentuk Isyarat, supaya kita mudah berkomunikasi" Ryu terlihat enggan menjelaskan lebih jauh.

"oke" aku mendesah berpura-pura mengerti.

Ryu memesan masakan yang tak pernah ku makan sebelumnya. Aku berusaha menelannya walaupun terlihat enggan menikmatinya. Aku teringat pelayan-pelayan yang membawa makanan tadi. Yang heran melihat kami berdua di kamar hotel ini. Mungkin mereka mengira kami kawin lari. Apa di Hawai juga ada kawin lari? Huh... mungkin mereka mengira aku adiknya. Ah, tidak mungkin, dia tinggi dan aku cebol. Sebenarnya lebih tepat jika mereka mengira aku seorang tawanan penculikan yang akan dibunuh dan mayatnya dibedah. Disumpal sebanyak mungkin Narkotika di dalam perutku yang sudah kosong. Dan siap dibawa ke Bandara untuk di jual ke Taiwan. Aku tertawa pada diriku sendiri. Ryu melirikku dan kembali menyantap makanannya. Dan tertawa lagi saat teringat aku yang dengan bodohnya memeluk Ryu, kepalaku tenggelam di dadanya. Kini Ryu diam saja tak memperdulikanku.

MiRroRsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang