Aroma yang menyenangkan. Sendiri memang sangat menyenangkan, walau di sebelahku Ryu tertidur pulas. Tertidur di atas ranjang yang berbeda dengan ranjang yang kutiduri saat ini. Entah disengaja atau tidak, kamar hotel ini memiliki 2 ranjang, ukurannya memang hanya untuk ditiduri satu orang. Mungkin untuk pasangan suami istri yang sedang berlibur untuk memutuskan apakah mereka akan bercerai atau tidak. Yah...mungkin.
Ini semua salahku. Jika saja aku mengizinkan Ryu tidur di luar, mungkin aku bisa berteriak-teriak di depan cermin. Menggigit-gigit meja. Mencakar-cakar kasur. Mengeluarkan isi bantal. Atau membanting-banting kursi yang ada di kamar ini. Tapi nyatanya, aku terlalu takut. Takut dengan semua kemungkinan yang akan terjadi setelah berbagai keajaiban yang baru saja kualaimi. Dibalik ketakutan itu. Ada secercah kebahagian yang diam-diam kusembunyikan di lorong hatiku terdalam. Aku senang tidak berada di rumah gedongan bersama Mommy. Entah apa yang di fikirkan Mommy hari ini jika mengetahui anaknya kabur. Memikirkan itu aku jadi tambah tidak bisa tidur. Lagi pula jika dihitung-hitung, saat ini di Jakarta masih sore.
"lo bakalan nyesel, kalo sekarang juga lo nggak tidur" Ryu bicara dengan suara orang yang ngelidur. Aku tersenyum nyaris tertawa mendengarnya.
"emang dulu waktu lo pertama kali jadi Pencari, sikap lo gimana? Nggak mungkin kan lonjak-lonjak kegirangan" aku memulai pertanyaan yang belum sempat kutanyakan hari ini.
"yang jelas gue nggak peluk-peluk orang sembarangan" kini aku yakin dia tidak sedang ngelindur. Suaranya jelas merupakan ejekan dan sindiran dengan memberi penekanan pada kata peluk-peluk.
"Ryu..." aku bangkit dari tempat tidur untuk memukulnya. Sialnya aku terpeleset karena ada lekukan karpet. Dan sialnya lagi Ryu yang awalnya menghadap tembok, kini sudah berbalik ke arah tempat tidurku. "BRUK..." aku jatuh tepat di dadanya, dengan sekejap aku sudah berdiri lagi.
"lo bukan Maniak kan?"
"ya ampun, lo nggak liat tadi kalo gue jatoh?", Ini bukan pertanyaan tapi pembelaan untuk diriku sendiri. Sebelum Ryu berkata-kata lagi aku langsung loncat ke tempat tidur menyembuyikan diriku di balik selimut, tak lagi berusaha menejelaskan. Jika aku bercermin saat ini, mungkin wajahku mirip udang rebus. Ku paksakan diriku untuk tertidur. Suara Ryu yang kembali tidur terdengar di balik punggungku.
Sinar matahari menyilaukan mata. Seseorang telah membuka jendela kamar. Dan orang itu sudah menghilang dari tempat tidurnya yang tertata rapi. Di atas meja kulihat pakaian yang sangat kukenal. Jelas itu milikikku, aku ingat masih melihatnya di almari kamar kemarin pagi. Aku teringat sesuatu dan cepat-cepat meraih pakaian itu. "ya ampun ada Bra dan celana dalam juga". Aku lantas ke kamar mandi yang juga ada di kamar itu. Bersiap mengajukan lagi beberapa pertanyaan.
"Ryu... dari mana lo dapet baju gue", pertanyaan itu terlontar begitu saja saat Ryu sedang duduk menikmati sarapannya.
"dari kamar lo lah, oya dalemannya juga gue nggak lupa" ia bicara sambil terus mengunyah, dengan seribu tawa yang berusaha di sembunyikannya.
"sial banget sih lo, lo nggak bisa ya lebih sopan sama cewek?", kini nadaku benar-benar terdengar marah. Dan lagi-lagi sesuatu yang aneh muncul dari dalam darahku. Membuatku tak bisa fokus. Membuatku gila. Aku meraih kursi lain yang tidak Ryu duduki. Membutnya bergeser dan membuat Ryu terhenyak menatapku. Aku bersumpah betapa besar rasa gila ini, aku tak akan memeluknya lagi.
"Zi" aku melotot ke arah Ryu, tapi tak bisa berkata apapun. Aku melihatnya mencoba meraih pundaku. Dan aku menampik tangannya keras-keras. Aku melihatnya meringis. Entah seberapa keras aku menampiknya.
Aku tak bisa mengendalikan tubuhku yang serasa mengejang. Kulitku terasa terbakar. Ryu hanya memandangku pasrah. Tatapan yang membuatku lagi-lagi ingin memeluknya. "tidak" aku tidak akan melakukan kesalahan yang sama. Aku akan membiarkan kemarahan dalam diriku yang telah menguasai setiap tetes darah dan otakku ini merajai diriku. Diriku yang lemah. Aku melihat tangan kananku yang seperti tertusuk-tusuk duri. Kegilaan lain terjadi. Tanganku tiba-tiba berkerut. Mengubah bentuk jari-jariku yang rintik. Kuku-kuku panjang tumbuh dan otot-otat keras muncul bersamaan. Aku memandangi Ryu yang terlihat sedih. Aku berusaha mengatur nafasku yang sesak. Dan bersamaan dengan itu. Aku menjadi Monster. Telapak tanganku berubah seperti tangan Werewolf. Aku terlalu ngeri melihat tanganku sendiri. Tak menyadari Ryu mendekat dan memelukku dengan erat. Kegilaan ini berakhir dan kuintip tangan mungilku yang sudah kembali.
"lo udah nggak papa?" suara Ryu nyaring terdengar di telingaku yang menempel di dadanya.
"gue takut" jawabku parau.
"gue nggak tau gimana jelasinnya ke lo, yang jelas sekarang kita harus cari 4 cermin itu" Ryu menarikku dari pelukannya agar dapat melihat wajahku.
"apa lo juga ngalamin hal yang sama?"
"ya, waktu gue nyaris bunuh orang yang nyuri cermin itu", jawaban Ryu terlalu santai dengan pembicaraan yang serius seperti saat ini.
"jadi gue juga harus bunuh orang?" aku tak sanggup memikirkan jawabannya. Aku menunduk saat melihat Ryu hanya mengangguk.
"apa yang bakal Munaina lakuin kalo gue nolak?" tanyaku lagi sambil tetap menunduk.
"dibunuh atau membunuh, lo masih inget kan?" Ryu merapihkan rambut panjangku yang sedikit berantakan.
"gue nggak mau mati, tapi gue juga nggak mau bunuh orang, itu jahat banget?" tetesan air mata kulihat jatuh tepat di bawahku. Aku sudah tak bisa menahannya.
"itu pilihan, sekarang terserah lo", Ryu melanjutkan sarapannya dan kembali tak memperdulikanku. Seperti seseorang yang memberi oksigen namun beberapa menit kemudian membekapnya dengan sekuat tenaga, membuatku benar-benar ingin mati tanpa harus dibunuh.

KAMU SEDANG MEMBACA
MiRroRs
FantasiZia adalah seorang pencari. Pencari yang harus menjalankan misi penangkapan para pencuri bongkahan Cermin Utama. Cermin ajaib yang dapat menghancurkan dunia dalam seketika.