Chapter 10

37 7 8
                                    

     Saat ini kami sedang berada di pusat desa imoro. Sebuah pohon setinggi lima belas meter yang dikelilingi dengan tanaman-tanaman berbunga diatas pandang rumput yang tidak terlalu luas menunjukan hal itu.

Aku, Rei, dan Kei sedang menunggangi kuda masing-masing. Dan kini kami merasa kebingungan dengan apa yang akan kami lakukan selanjutnya.

Sekarang pukul lima sore kurang dua puluh empat menit. Jika kami kelamaan diam termangu seperti ini, kami akan terlambat untuk menemukan tempat untuk menghabiskan malam.

Rasanya tidak mungkin kan kalau harus tidur di pingggir jalan atau rumah bobrok kosong ketika kita sedang jelas-jelas berada di sebuah desa. Bodoh sekali menghabiskan malam seperti itu hanya karena tidak berhasil menemukan dimana letak penginapan disini.

Setelah menghabiskan waktu hampir empat jam untuk memilih, belajar memasangi peralatan kuda, dan menunggangi kuda, kami berjalan tanpa tujuan, dan berakhir dengan berhenti didekat pohon yang menjadi penanda utama pusat kota dimana bangunan-bangunan yang lebih besar daripada bangunan lainnya berada.

Kutebak, mereka adalah rumah dari beberapa keluarga yang terbilang kaya di didesa ini. Tapi tidak terlalu kaya. Karena meski besar, bangunan-bangunan  kokoh itu mulai kehilangan warna awalnya dan beberapa bagian dinding yang sudah memiliki lubang hanya ditutupi oleh sebuah kain dari dalam. Benar-benar tidak terawat.

Lagipula desa imoro terbilang sebagai desa kecil diantara desa lainnya yang berada di benua kerajaan Aria. Itu artinya, orang-orang kaya disinipun masih kalah banding dengan orang-orang didesa lainnya. Jadi.. Kurasa ini wajar.

   "Apa yang akan kita lakukan sekarang?" Tanya Kei membuka pembicaraan. Sejak tadi kami hanya diam. Sibuk dalam pikiran masing-masing.

   "Sudah jam lima kurang. Sisa satu jam sebelum hari mulai gelap." Dengan Rei mengatakan itu, keadaan kembali hening--mereka berdua menunggu keputusanku.

   "Baiklah, hari ini cukup sampai disini. Kita harus mencari tempat menginap. Besok kita akan memulai perjalanan lagi." Mendengar jawabanku, mereka mengangguk.

   "Kalau begitu, ayo." Dengan ini kami kembali menunggang kuda tanpa arah yang pasti.




.

.


   "Se-sepertinya, kita harus bertanya lagi." Cengirku. Mereka berdua menatapku nanar.

   ""Ya iyalah, gimana sih? Kita kan gak tahu apa-apa tentang dunia dan desa ini. Jadi ketua, tapi hal sepele gitu aja gak tau."" Mereka berbicara panjang secara bersamaan.

Aku tersenyum kecut berusaha mengacuhkan kalimat yang mereka ucapkan barusan.

   "Yasudah, aku akan pergi. Kalian tunggu disini dan tolong jaga shino untukku." Mendengarku mengatakan itu, mereka menunjukan wajah bingung yang sulit kumengerti. Tapi biarlah. Lagipula tidak ada untungnya juga bagiku kalau aku berusaha mencari tahu maksud dari ekspresi mereka.

Aku bertanya pada seorang anak kecil yang sedang bermain lempar bola dengan ketiga temannya. Sebenarnya aku ingin bertanya pada orang yang lebih dewasa saja. Tapi sayangnya aku tidak bisa menemukan satupun manusia selain empat bocah yang tengah bermain di tiga meter dari tempatku berdiri. Jadi aku hanya akan bertanya pada anak kecil yang berada paling dekatku saja. Anak yang tengah memegang bola dan sedang bersiap melemparnya.

Lagipula aku yakin anak-anak seumuran mereka masih bisa memberi tahu informasi meskipun tidak rinci. Tapi satu hal saja sudah cukup untuk mengetahui letak suatu penginapan di desa ini.

Aku kembali menatap anak yang kutanyai barusan setelah sempat memalingkan wajah menoleh ke berbagai arah. Dia sedang berpikir keras dan menghasilkan ekspresi yang sangat menggemaskan. Aku melihat ketiga temannya. Mereka semua sedang memperhatikanku dari jauh dengan wajah penasaran polos seolah-olah mereka adalah anak kecil yang tidak tahu apapun.

Aku bertaruh, seandainya aku memberi mereka suatu makanan manis atau mainan dan bilang bahwa aku bukan orang jahat, mungkin mereka akan menuruti perkataanku.

Yah... Lagipula dulu aku pernah seperti itu. Saat aku sedang bermain mahkota bunga, seorang wanita yang menurutku cantik saat itu bilang bahwa mahkota buatanku bagus. Lalu dia memberikanku lolipop yang merupakan jenis permen kesukaanku saat aku kecil.

Lalu dia bilang, kalau aku mau ikut dengannya, aku akan diberikan semua jenis makanan yang kuinginkan. Dengan itu aku menerima juluran tangannya dan berjalan mengikuti tuntunannya.

Disaat itulah, Kei dan Rei datang. Mereka memegang satu tanganku yang bebas, dan bilang 'jangan mau ikut dengannya, dia kakak yang jahat'.

Begitu kata mereka sambil menunjuk wanita dihadapanku. Kemudian orang itu berdecih dan akhirnya pergi meninggalkanku.

Aku tidak pernah bisa melupakan kenangan itu. Dan karena hal barusan, ingatan itu kembali tergambar dengan sangat jelas dipikiranku.

   "Kakak... Kakak..." Aku mendengar suara kecil memanggilku. Aku menoleh ke sekeliling, tapi aku tidak melihat seorangpun yang terlihat seperti ingin memanggilku. Bersamaan dengan itu, sebuah tangan mungil muncul di depan wajahku dengan sangat tiba-tiba dan cepat. Diikuti dengan perasaan sebuah tangan mungil lainnya yang sedang menarik-narik celana jins ku.

Aku menundukan wajah dan melihat dua anak perempuan yang sedang melihatku dengan wajah khawatir yang manis. Lalu dua anak laki-laki yang menatapku dengan geram dan membuat wajah mereka terlihat semakin imut. Salah satu dari dua anak laki-laki itu mengangkat tangan kanannya tinggi-tinggi dan terlihat baru saja bersiap-siap untuk melompat--lagi. Kutebak, dialah yang baru saja memunculkan sebuah tangan mungil didepan wajahku.

Aku mengingat ingat hal yang terjadi barusan dan kembali tersadar bahwa aku baru saja bertanya pada seorang anak kecil tentang sebuah penginapan.

   "Ah, maaf." Aku tersenyum dan mengusap-usap tengkuk-ku. Kemudian aku berjongkok menyamakan tinggiku dengan mereka. Meskipun tetap ada perbedaan beberapa centi antara aku dan keempat anak itu.

   "Jadi, kalian tahu ada dimana?" Tanyaku selembut mungkin.

   "Yya," anak laki-laki satunya menjawab dengan penekanan. "Aku ingat ayah pernah bilang penginapan didekat pintu desa."

   "Pintu desa itu... Maksudnya bangunan susunan kayu yang terdapat tulisan desa imoro-nya?" Tanyaku memastikan. Mereka saling bertukar pandang. Yah... Kurasa tebakanku benar.

   "Baiklah, terimakasih banyak ya..." Mereka tersenyum lebar dan melambaikan tangan mereka padaku.

   "Ayo kita pergi." Aku mengelus leher shino dan naik ke punggungnya.

   ""Kemana?""

   "Penginapan. Didekat awal kita masuk kedesa ini."

   "Jadi sejak awal memang ada disana?!" Kei terlihat tidak terima.

   "Yeah..."

   "Tau gitu kan kita gak usah muter-muter nyari."

   "Sudahlah. Memangnya tadi kita muter-muter? Enggak. Sudah, ayo pergi. Lagipula sejak kita datang kesini, kenapa kalian jadi terus mengandalkanku?" Sewotku.

   ""Karena kau memang baik hati"" Canda mereka. Kemudian mereka menghentakkan tali kuda mereka dan berlari kecil meninggalkanku.

   "Dasar. Ayo, shino."



((_-*-_))










Author's Note

Hi guys.. Ya ampun, kapan terakhir kali aku update the three queen??

Haha. Maaf ya..

Semoga kalian gak melupakan work ku ini. Sumpah. Aku suka kepikir mau update, tapi setiap buka wattpad, niat itu selalu hilang begitu saja. Maafkan diriku ini ≧﹏≦

Anyway, terimakasih banyak buat kalian yang masih setia nungguin work ku




"Udah gak pernah update, sekali update, pendek lagi." Hehe.

Pasti chapter lain kupanjangin kok

Maaf kalo cerita nya terkesan bertele-tele. Sengaja alurnya kubuat lambat.

See you next time then

The Three QueenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang