[IND]
Saran:
Dianjurkan membaca kisah ini dari awal sampai akhir sambil mendengarkan instrumen Ballad relaksasi piano/biola or play 👆Laki-laki itu masih duduk di atas kursi roda sambil mengarahkan tatapannya lurus ke depan, ke ruang kosong yang terhampar di hadapannya. Di tempat itu, matanya menangkap sepasang burung camar yang terbang rendah bebas, seorang anak kecil yang tengah bersepeda bahagia, seekor kadal ekor hitam yang melintas buru-buru, dan beberapa daun yang jatuh diterbangkan angin. Mereka semua tampak bahagia tanpa merasa berat menanggung penderitaan. Burung-burung itu bahkan bisa saja menabraki pohon, anak kecil itu juga berulang kali jatuh, kadal yang berlari bisa terinjak dan daun-daun bisa hancur sebelum menyentuh tanah. Tapi mereka berterus terang pada mata lelaki itu bahwa mereka melakukannya untuk bahagia.
"Tapi aku bahkan tidak bisa bahagia lagi. Ah, aku memang tidak pernah bahagia sejak saat itu..." Ia menertawai dirinya sendiri, tertawa getir.
Laki-laki yang baru saja menertawai kenyataan itu beranjak hendak bangkit dari kursi rodanya. Kedua tangan miliknya bersikeras menumpu beban tubuh hingga pergelangannya gemetar hebat. Ada rasa sakit yang menjadi-jadi saat ia berusaha memaksa punggungnya untuk bergerak, lalu dirasakannya sebuah telapak tangan hangat menyentuh kedua lengan yang bergetar itu.
"Hyung, kau akan terluka jika melakukannya lagi..." ujarnya mencoba menenangkan laki-laki yang dipanggilnya 'hyung' itu.
"Minggir!! Minggir kataku!" Ia menghardik, suaranya gemetar.
"Hyung, sadarlah! Kau tidak bisa terus-terusan seperti ini! Tahukah kau bahwa kau melakukan ini hampir setiap hari? Kumohon, jangan sakiti dirimu sendiri," katanya meminta.
"Kau katakan itu dengan mudah karena kau belum tahu rasanya menjadi seonggok sampah tak berguna!" Matanya memerah, di sana sedikit demi sedikit air menggenang dan tanpa permisi terjun membasahi pipinya yang kian tirus.
"Hyung..."
"Kau bilang begitu karena kau masih bisa melakukan apa yang kau mau... Kau bilang begitu karena...."
Ia tak melanjutkan kata-katanya. Dadanya sesak menahan amarah, kesedihan, dan emosi yang tak terkendali. Tangisnya pecah, tangis yang begitu menyesakkan dan dalam. Tubuhnya pasrah kembali pada kursi roda yang menyaksikan betapa pengecutnya ia menjalani ketidakberdayaan itu. Digenggamnya tangan seseorang yang menyentuh kedua lengannya, makin erat, lebih erat seiring pikirannya yang terlampau kacau.
Dua Minggu lalu~
"Changsub~hyung! Fighting!!" teriak Peniel. Ia berdiri lima meter dari tempat Changsub melakukan persiapan lomba.
Di tangan kiri laki-laki itu tergenggam sebuah papan skateboard abu-abu polos. Papan skateboard itu menjadi benda kesayangan satu-satunya setelah papan yang lain rusak dalam sebuah kecelakaan yang menewaskan seluruh keluarganya. Ia melakukan pemanasan singkat sebelum benar-benar memasuki arena lomba.
Peniel harap-harap cemas. Ia memang yakin kali ini Changsub akan berhasil memenangkan lombanya, namun siang itu terasa tak seperti biasanya. Dari lapangan yang lantainya landai hingga meninggi, di sana menguar hawa panas hasil pantulan terik matahari yang menghantam permukaan bumi. Penonton bahkan menjauh, sangat jauh, dari area pertandingan itu.
Changsub start. Ia naik ke atas skateboard itu. Perlahan salah satu kakinya mengayun hingga kemudian ritmenya makin cepat. Digerakkannya papan itu dengan lincah melalui spot landai hingga kecepatannya bertambah untuk menghadapi lantai curam yang tinggi lalu ia bergerak memutar. Teknik keindahan itu adalah poin andalannya. Ia harus melakukannya dengan benar agar tidak cedera karena tubuhnya akan melayang sangat tinggi sebelum benar-benar mendarat kembali di atas skateboard.
KAMU SEDANG MEMBACA
[2018] THE REASON ☑
Fanfiction(Diterbitkan dalam 'INTERLUDE') Indonesia 🏃 English [IND] Lee Changsub, pemuda yang duduk di kursi roda itu, mimpinya menjadi atlet skateboard sudah berakhir. Ia tidak punya alasan untuk bertahan dengan hidupnya yang selalu bergantung pada orang l...